Welcome To Tepus Somorejo Bagelen

Tuesday, October 20, 2015

Kilas Sejarah Bagelen




     Tanah bagelen merupakan suatu kawasan di selatan Jawa Tengah menurut tata negara Mataram masa Sultan Agung, ( FA Sutjipta 1963 ) yang disebut tanah bagelen terdiri dua bagian dalam satu kesatuan yaitu wilayah bagelen di sebelah barat sungai progo sampai timur sungai bogowonto disebut “Tumbak Anyar” dan yang kedua wilayah di barat sungai Bogowonto sampai Timur Sungai Donan ( Cilacap ) yang disebut “Urut Sewu” . dua wilayah Tumbak Anyar dan Urut Sewu itulah yang dinamakan Tanah Bagelen yang melegenda.
     Wilayah Bagelen sekarang sudah terpecah menjadi beberapa Kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Purworejo ( gabungan kadipaten Kutoarjo dan Brengkelan ), Kabupaten Kebumen ( gabungan kadipaten Ambal, Gombong, Karanganyar, dan Kutowinangun ), Kabupaten Cilacap, ditambah Kabupaten Wonosobo, sisa dari wilayah yang dahulu dikenal sebagai Urut Sewu atau Ledok.
Nama Bagelen menurut Profesor Purbatjaraka (1954) seorang ahli sejarah Kuno, berasal dari kata pagaluhan, wilayah yang masuk dalam kekuasaan kerajaan Galuh.
     Berdasarkan penelitian Arkheologi Yogyakarta, ( Prayitno Hadi S, 2007 ) ternyata di pusat wilayah Bagelen tepatnya di Desa Bagelen dan sekitarnya yang masuk dalam Kabupaten Purworejo, sekurang-kurangnya terdapat sekitar 70 buah situs Megalitik dan Puluhan Situs Klasik Hindhu-Budha.
     Salah satu tempat yang menarik adalah Desa Watukuro kecamatan Purwodadi, Purworejo, lokasinya di muara sungai Bogowonto. Menurut Profesor DR. N J. Khrom (1950) seorang ahli Purbakala di Desa ini dahulu terdapat tempat untuk Perabuan Jenazah-jenazah Raja-Raja Mataram Hindhu, demikian juga asal usul Raja Mataram Hindhu terbesar yaitu Diah Balitung. Sayang situs peninggalan purbakala di desa Watukuro telah hilang akibat adanya sistem tanam paksa pada abad 19.
     Peradaban Jawa kuno menurut Supratikno Rahardjo (2001) bisa dibagi dalam dua periode utama , pertama periode Jawa Tengah sekitar Abad 8 – 10 Masehi, periode berikutnya periode setelah pusat pemerintahan pindah ke jawa timur. Menurut Profesor Brandes (1889) di Pulau Jawa sebelum masuknya Pengaruh Hindhu, berdasarkan bukti dan data-data Prasasti telah memiliki paling tidak 10 macam kepandaian khusus yakni pertunjukan wayang, musik gamelan, seni syair, pengrajin logam, sistem mata uang untuk perdagangan, navigasi, irigasi, ilmu falak, dan sistem pemerintahan yang teratur.

     Bagelen memiliki nilai dan karismatik sebagai sebuah wilayah. Wilayah yang luas -terdapat 20 kecamatan jika dibandingkan dengan kondisi administratif saat ini- dan terletak di Jawa Tengah bagian selatan (tepatnya di Yogyakarta) itu memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah tanah air. Operasi militer, perlawanan terhadap Kompeni, pembangunan candi (Prambanan dan Borobudur) merupakan beberapa bukti pentingnya wilayah tersebut.

     Bukti-bukti kebesaran Bagelen tercatat sebagai berikut:

1. Di era Majapahit, Raja Hayam Wuruk pernah memerintahkan untuk menyelesaikan pembangunan candi makam dan bangunan para leluhur, menjaga serta merawatnya dengan serius (Negarakertagama);

2. Di era Demak, Sunan Kalijaga (anggota Wali Songo) mengunjungi dan menyebarkan Agama Islam di Bagelen serta mengangkat muridnya, Sunan Geseng untuk berdakwah di wilayah Bagelen;

3. Di awal Dinasti Mataram, Panembahan Senopati menggalang persahabatan dengan para kenthol (tokoh-tokoh) Bagelen untuk menopang kekuasaannya.

4. Ditemukannya bukti-bukti sejarah, seperti Lingga (52 buah), Yoni (13), stupa/Budhis (2), Megalith (22), Guci (4), Arca (38), Lumpang (24), Candi Batu atau berkasnya (8), Umpak Batu (16), Prasasti (3), Batu Bata (8), temuan lain (17), dan Umpak Masjid (20).


     Tapi pada akhirnya, Bagelen sebagai sebuah kawasan yang solid akhirnya terpecah seiring dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) yang didesain oleh Kompeni Belanda untuk memecah Mataram menjadi dua kerajaan; Kasunanan Surakarta (Solo) dengan Sunan Paku Buwono III sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Yogyakarta dengan Sultan Hamengku Buwono I sebagai rajanya.
Sebagian masuk Solo, dan sisanya masuk Yogyakarta. Secara peradaban, Bagelen sudah terbelah. Abad XIX (1825-1830), Bagelen ikut dalam Perang Jawa. 3000 prajurit Bagelen di bawah kendali Pangeran Ontowiryo menyokong perjuangan Pangeran Diponegoro yang terpusat di Tegalrejo, Magelang. Saking kuatnya perlawanan Bagelen, Kompeni Belanda sampai harus menggunakan taktik Benteng Stelsel, dengan mambangun 25 buah benteng di kawasan Bagelen.

     Usaha Belanda untuk semakin memperlemah Bagelen dilanjutkan di tahun 1901. Tanggal 1 Agustus, Bagelen dihapus secara karesidenan dan dilebur ke dalam Karesidenan Kedu. Selanjutnya Bagelen hanya dijadikan sebagai sebuah kecamatan saja. Kemudian Belanda juga membangun jalur transportasi Purworejo-Magelang untuk memudahkan pengawasan. Belanda juga menempatkan batalion militer reguler dengan dibantu serdadu negro (Ambon?). Kebijakan ini sangat nyata untuk menghilangkan jati diri Bagelen sebagai sebuah kawasan yang sangat berakar. Buku ringkas ini merupakan upaya penulis untuk melakukan rekonstruksi suatu aset nasional yang memiliki muatan lokal. Berikut penelusurannya:

LATAR BELAKANG MATARAM KUNO

     Di Jawa Tengah abad VIII – X, ada kerajaan besar, bernama Medang yang terletak di Poh pitu. Kerajaan ini luas, dikenal subur dan makmur. Pusat kekuasaan dibagi menjadi dua; Pertama, negara yang bersifat internasional dengan beragama Budha, diperintah oleh Dinasti Syailendra. Kedua, negara yang diperintah oleh sepupunya yang beragama Syiwa. Kedua kerajaan ini berada dalam satu istana, dan disebut Kerajaan Medang i Bhumi Mataram. Berdasarkan prasasti berbahasa Melayu Kuno (Desa Sojomerto, Batang) memperkuat pendapat sejarawan Purbacaraka, bahwa hanya ada satu dinasti saja di Jawa Tengah, yakni Syailendra. Raja Sanjaya yang menganut Syiwa di kemudian hari menganjurkan putranya, Rakai Panangkaran untuk memeluk Budha. Menurut catatan Boechori, epigraf dan arkeolog, Syailendra merupakan penduduk asli Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh prasasti Wanua Tengah III (Temanggung) yang memuat silsilah raja-raja Mataram lengkap dengan tahunnya.

ASAL MULA RAJA SANJAYA DAN TANAH BAGELEN

     Berdasarkan prasasti Canggal (Sleman) menjelaskan: -ada sebuah pulau bernama Yawadwipa -negeri yang kaya raya akan padi, jewawut, dan tambang emas. -raja pertamanya : Raja Sanna. -setelah dia mangkat, diganti oleh ponakannya: Raja Sri Sanjaya Menurut catatan seorang sejarawan, Raja Sanjaya mendirikan kerajaan di Bagelen, satu abad kemudian dipindah ke Wonosobo. Sanjaya adalah keturunan raka-raka yang bergelar Syailendra, yang bermakna “Raja Gunung“, “Tuan yang Datang dari Gunung“. Atau, “Tuan yang Datang dari Kahyangan“, karena gunung menurut kepercayaan merupakan tempatnya para dewata.
     Raja Sanjaya dikenal sebagai ahli kitab-kitab suci dan keprajuritan. Armada darat dan lautnya sangat kuat dan besar, sehingga dihormati oleh India, Irian, Tiongkok, hingga Afrika. Dia berhasil menaklukkan Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kerajaan Melayu, Kemis (Kamboja), Keling, Barus, dan Sriwijaya, dan Tiongkok pun diperanginya (from “Cerita Parahiyangan“).
Area Kerajaan Mataram Kuno (Bagelen) berbentuk segitiga. Ledok di bagian utara, dikelilingi Pegunungan Menoreh di sisi Barat dan Pegunungan Kendeng di utara dan basisnya di pantai selatan dengan puncaknya Gunung Perahu (Dieng), di lembah Sungai Bagawanta (Sungai Watukura, kitab sejarah Dinasti Tang Kuno 618-906). Catatan dinasti Tiongkok tersebut diperkuat juga oleh Van der Meulen yang menggunakan kitab “Cerita Parahiyangan” dan “Babad Tanah Jawi“.
     Bagelen merupakan hasil proses nama yang final. Bermula Galuh/Galih, menjadi Pegaluhan/Pegalihan, menjadi Medanggele, Pagelen, lalu jadilah Bagelen. Dalam prasasti Tuk Mas (Desa Dakawu, Grabag-Magelang) yang menyebut adanya sungai yang seperti sungai Gangga, maka Medang i bhumi Mataram bermakna “Medang yang terletak di suatu negeri yang menyerupai Ibu” (lembah Sungai Gangga). Dieng diasumsikan sebagai Himalaya, Perpaduan Sungai Elo dan Progo disamakan sebagai Sungai Gangga, dan pegunungan Menoreh disamakan sebagai Pegunungan Widiya.

SILSILAH RAJA-RAJA MATARAM KUNO


     Pada jaman Mataram Hindhu, tersebutlah seorang raja yang bijaksana yang bernama Prabu Sowelocolo. Ia memiliki enam orang putra, masing-masing bernama Sri Moho Punggung, Sendang Garbo, Sarungkolo, Tunggul Ametung, Sri Getayu, dan Sri Panuhun.
     Sri Panuhun memiliki seorang cucu, anak dari Joko Panuhun atau Joko Pramono yang bernama Roro Dilah atau Roro Wetan yang kemudian dikenal dengan sebutan Nyai Bagelen. Roro Dilah juga dapat disebut dengan Roro Wetan karena kedudukannya di daerah timur. Sri Getayu memiliki cucu dari putra Kayu Mutu bernama Awu-Awu Langit. Ia berkedudukan di Awu-Awu (Ngombol). Setelah dewasa, Roro Dilah menikah dengan Raden Awu-Awu Langit dan menetap di Hargopuro atau Hargorojo.

     Dari pernikahan tersebut, Roro Dilah atau Roro Wetan dan Pangeran Awu-Awu Langit dianugrahi tiga orang putra, Bagus Gentha, Roro Pitrang dan Roro Taker.
Kesibukan Roro Wetan dan Awu-Awu Langit adalah bertani padi, ketan, dan kedelai, beternak sapi, ayam dan juga menenun. Konon karena tanahnya cocok untuk ditanami kedelai dan hasilnya melimpah maka wilayah tersebut dikenal dengan nama Medang Gelih atau Padelen dan sekarang disebut dengan Bagelen.

     Roro Wetan atau Nyai Ageng Bagelen sosoknya tinggi besar dengan rambut terurai dan senang memakai kemben lurik. Beliau memiliki keistimewaan berupa kemampuan spiritualnya dan juga payudaranya yang sangat panjang sehingga ketika putra-putrinya ingin ngempeng, ia tinggal menyampirkan ke belakang.

     Pada suatu ketika, Nyai Ageng Bagelen sedang asik menenun. Sebagaimana biasanya, ia menyampirkan payudaranya ke belakang supaya tidak mengganggu. Tidak disangka-sangka datang anak sapi menghampirinya, Nyai Ageng Bagelen mengira itu salah satu putra-putrinya yang ingin ngempeng. Tanpa menghiraukan kedatangan anak sapi tersebut ia terus asik menenun. Terkejutlah ia ketika menoleh, ternyata yang menyusu bukanlah anaknya tetapi anak sapi.

     Kejadian tersebut membuat Nyai Ageng Bagelen merasa malu dan marah, sehingga menyebabkan pertengkaran dengan Raden Awu-Awu Langit. Dan akhirnya ia menyampaikan pesan untuk semua anak cucu beserta keturunannya, agar atau tidak boleh memelihara sapi.
Peristiwa yang memilukan atau menyedihkan juga terjadi kembali pada hari Selasa Wage. Pada waktu itu masih musim panen kedelai dan padi ketan hitam. Kedua putrinya Roro Pitrang dan Roro Taker masih senang bermain-main. Namun tidak sebagaimana biasanya, hingga sore hari kedua putri itu tidak kunjung pulang.

     Selesai menenun Nyai Ageng Bagelen berusaha mencari. Karena tidak menemukannya, ia menanyakan kepada suaminya. Namun jawaban Raden Awu-Awu Langit sepertinya kurang mengenakan. Dengan perasaan marah dan jengkel dibongkar padi ketan hitam dan kedelai di dalam lumbung sehingga isinya berhamburan terlempar jauh hingga jatuh di desa Katesan dan Wingko Tinumpuk.
Betapa terkejutnya Nyai Ageng Bagelen ketika melihat kedua putri kesayangannya terbaring lemas pada lumbung padi tersebut. Setelah didekati ternyata mereka telah meninggal.

     Semenjak peristiwa tersebut kehidupan Nyai Ageng Bagelen dengan Raden Awu-Awu Langit selalu diwarnai dengan pertengkaran. Akibatnya Raden Awu-Awu Langit memutuskan untuk pulang ke daerahnya, Awu-Awu, sedangkan Nyai Ageng Bagelen tetap tinggal di Bagelen untuk memerintah negeri.
     Suatu ketika terdengar kabar bahwa Raden Awu-Awu Langit meninggal di desa Awu-Awu. Mendengar berita tersebut Nyai Ageng Bagelen merasa sedih dan berpesan kepada Raden Bagus Gentha bahwa anak cucu keturunannya dilarang atau berpantangan untuk bepergian atau jual beli, mengadakan hajad pada hari pasaran Wage, karena pada hari itu saat jatuhnya bencana dan merupakan hari yang naas. Selain itu orang-orang asli Bagelen juga berpantangan untuk menanam kedelai, memelihara lembu, memakai pakaian kain lurik, kebaya gadung melati dan kemben bangau tulis.

     Setelah Nyai Ageng Bagelen menyampaikan pesan tersebut kepada Raden Bagus Gentha putranya, ia kemudian masuk ke kamarnya dan lemudian menghilang tanpa meninggalkan bekas atau moksa.

     Selain itu Nyai Ageng Bagelen juga mengajarkan kepada anak cucu keturunannya agar melakukan tiga hal, yaitu: bersikap jujur, berpenampilan sederhana dan lebih baik memberi dari pada meminta.
Sepeninggalan Nyai Ageng Bagelen, kedudukan dan pemerintahan Bagelen digantikan oleh Raden Bagus Gentha.

Monday, September 14, 2015

Growol Vs Pentho

Hay sobat blogger.., kali ini saya akan sedikit berbagi mengenai menu makanan kuliner yang ada didusun Tepus desa Somorejo kecamatan Bagelen kabupaten Purworejo. Menu makanan kuliner didusun Tepus somorejo ini yaitu growol. Jenis makanan ini berasal dari bahan dasar singkong yang difermentasikan.

Yang ingin kita bagikan disini adalah growol dan pentho. Selain sebagai makanan kuliner, growol merupakan makanan yang baik buat kesehatan bagi para penderita penyakit diabetes karena growol rendah akan kalori dan baik pula bagi anda yang sedang diet karena efek rasa kenyangnya membuat anda bisa mengganti menu makanan pokok nasi dengan growol.

Masyarakat didusun Tepus mulai sulit untuk mendapatkan makanan ini. Untuk menikmati growol ini ada yang mendapatkannya dengan membeli dipasar Krendetan Bagelen atau dipasar Pripih Hargomulyo atau beli ke produsen didusun Pletuk Dadirejo ada pula yang lebih senang dengan membuat sendiri. Growol dapat dikonsumsi sebagai pengganti nasi, maka tak heran jika growol sering dikonsumsi dengan sayur atau lauk pauk lainnya.

Yang menjadikan beda dari rasa growol adalah jika dikonsumsi dengan lauk sederhana yaitu pentho. Pentho merupakan makanan yang biasa dijadikan sebagai lauk mirip seperti perkedel. Yang membedakan adalah bahannya yang terbuat dari parutan kelapa muda dicampur dengan bumbu kemudian dibuat bundaran seperti perkedel dan digoreng. Pentho mempunyai cita rasa yang enak dan gurih. Lauk ini cocok jika dikonsumsi dengan nasi hangat atau dengan growol ini.
Growol sendiri dapat disajikan dengan berbagai macam aneka lauk. Growol bisa sajikan sama ikan asin dengan bumbu pedas, bisa disajikan dengan tempe besengek, bisa juga dicampur dengan parutan kelapa yang sudah dibakar, enak juga dimakan sama srundeng, pelas kelapa muda, bisa juga disajikan sama oglok tempe daun mlinjo atau bisa juga dikonsumsi cukup dengan sambel jenggot.
Nah... Sobat blogger yang berbahagia, makanan khas growol dan pentho ini mungkin hanya ada didusun Tepus somorejo. Apabila Anda singgah ke Bagelen Anda sempatkan mampir kedusun Tepus desa Somorejo untuk mencicipi growol dan pentho.

Soal rasa dijamin mak nyusss, gurih-gurih nyoiii... Sobat.
Soal harga dijamin sangat terjangkau... Sobat.

Saturday, September 5, 2015

Jateng Gayeng

Slogan Jateng Gayeng diharapkan menginspirasi masyarakat jawa tengah dimanapun berada


Pak gubernur Ganjar Pranowo berharap logo dan slogan Jateng Gayeng yang baru diluncurkan pada penutupan Pesta Rakyat 2015 dalam rangka memperingati hari jadi ke-65 provinsi Jateng beberapa waktu yang lalu, dapat menginspirasi masyarakat untuk selalu penuh semangat, berani, tangguh, jujur, ramah, harmonis, dan hangat.

“Logo dan slogan Jateng Gayeng ini akan diaplikasikan di berbagai produk promosi Jawa Tengah untuk meningkatkan pembangunan investasi dan pariwisata,”.

Logo dan slogan Jateng Gayeng merupakan karya dari Tonny Subagyo dan berhasil menyabet juara pertama sayembara “tagline” yang digelar Pemerintah Provinsi Jateng pada 18 Juni hingga 15 Juli 2015. “Sebelum sayembara digelar, Pemprov Jateng bekerja sama dengan Mark Plus membentuk tim yang beranggotakan akademisi, budayawan, dan unsur pemerintah yang bertugas memetakan potensi serta keunggulan Jateng untuk dijadikan pedoman sayembara,”.

Tonny Subagyo, mengungkapkan bahwa karyanya dalam membuat logo "jateng gayeng" terinspirasi dan modifikasi dari huruf Jawa yang kemudian dikembangkan menjadi font khusus sehingga menggambarkan karakter masyarakat Jateng yang kuat mendukung dinamika perubahan modern dengan tetap memegang teguh akar budaya Jawa.

Warga Depok, Jawa Barat itu lebih memilih kata “Jateng” daripada “Jawa Tengah” karena menurutnya kata tersebut lebih mudah diingat dan sudah dikenal, sedangkan logo dimulai dari dari huruf kecil untuk menggambarkan keramahan, kebersamaan, bersifat melayani dan tidak angkuh.

Logo Jateng Gayeng ini dipatenkan dengan warna dasar merah diambil dari warna gula jawa yang menggambarkan energi semangat, kekuatan dan pertumbuhan.

Terkait kata “Gayeng”, menjelaskan bahwa dalam kamus bahasa Jawa, kata gayeng berarti menyenangkan atau menggembirakan. “Jadi kata ‘gayeng’ menggambarkan hubungan yang menyenangkan antara pemimpin dan rakyatnya,” katanya.

Selain itu, Jawa Tengah sebagai tempat strategis dan memiliki daya dukung yang menyenangkan untuk solidaritas beragama, usaha, berinvestasi, berwisata, inovasi, kreatifitas bidang pendidikan, sosial, seni budaya, dan mencapai kesejahteraan bersama.

Di jelaskan bahwa pada logo Jateng Gayeng terdapat modifikasi huruf “T” yang menyerupai keris dan sifat-sifat keris bagi masyarakat Jawa melambangkan keberanian serta kebenaran untuk tujuan kebaikan serta kuat teguh untuk menyatukan diri kepada Tuhan.

“Huruf “G” pada kata Jateng di bikin menyerupai angka 9 karena mengambil sembilan filosofi jawa yang melandasi kehidupan yakni hidup bermanfaat, mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan, bijak dan sabar, menang tanpa merendahkan, tabah, tidak manja, tidak rakus, berlaku jujur, tidak merasa pandai, serta selalu semangat,”.