Welcome To Tepus Somorejo Bagelen
Showing posts with label budaya seni lokal. Show all posts
Showing posts with label budaya seni lokal. Show all posts

Thursday, February 11, 2016

Kesenian Kethoprak Nasibmu Kini


Dulu, diwaktu masa kecil dan jaman televisi didusun Tepus Somorejo masih berwarna hitam putih itupun hanya beberapa orang saja yang memilikinya, tontonan yang paling menarik bagi orang tua khususnya adalah kethoprak, meskipun anak-anak, remaja, maupun dewasa juga menyukainya. Stasiun televisi masih TVRI, stasiun TV swasta seingat saya belum banyak (atau mungkin belum sampai siarannya di pedesaan), sehingga stasiun televisi paling favorit adalah TVRI.

Kethoprak memang menarik, apalagi masih kental dengan budaya jawa yang masih mengakar di wilayah pedesaan, kala itu. Setiap malam Rabu atau malam minggu, menonton kethoprak menjadi hiburan yang menyenangkan bagi orang desa, apalagi kalau Kethoprak sayembara, itu lebih menarik perhatian lagi.

Seiring dengan perkembangan, stasiun televisi swasta mulai bermunculan, dan mulai ada satu dua yang memiliki televisi sendiri, bahkan ada yang sudah berwarna. Perlahan-lahan, eksistensi TVRI mulai tergusur, yang dulunya suka nonton kethoprak mulai berubah arah, perlahan-lahan, sinetron mulai menjadi pengganti kethoprak yang sebelumnya jadi idola.

Dan sekarang nampak sangat jelas, betapa sinetron mulai menggantikan eksistensi kethoprak dan kesenian daerah lainnya. Orang tua tak sungkan membicarakan sinetron saat berkumpul, asyik dan sepertinya begitu menarik. Sangat bertolak belakang dengan jaman saya kecil dulu, di mana tempat, kalau membicarakan acara di televisi seringnya bercerita tentang kethoprak bahkan disaat bermain bersama teman sering kali memainkan beberapa kisah cerita adegan dari kesenian kethoprak

Mungkin saja perkembangan jaman dan perubahan pola fikir telah menjadikan semua serasa mudah, perubahan yang mau tidak mau harus di terima, suka atau tidak. TVRI yang masih paling konsisten menayangkan acara kesenian tradisional seperti kethoprak harus rela menelan pil pahit, perlahan mulai di tinggalkan penggemarnya. Sinetron sudah menjadi tayangan favorit, diluar konteks bagus atau tidak, berkualitas atau tidak, tayangan "kethoprak modern" ini sudah jauh meninggalkan kethoprak yang sepertinya semakin sedikit pelestarinya. Dan sepertinya tinggal menunggu waktu untuk melihat kethoprak dan kesenian tradisional lainnya "punah" tertelan jaman.

Sebenarnya saya dan mungkin masih banyak yang lainnya, yang berharap agar kelestarian budaya Indonesia tetap terjaga. Kadang terasa aneh, saat ada negara lain yang mengakui kebudayaan Indonesia sebagai budaya negaranya, banyak yang bereaksi dan seolah memiliki sepenuhnya kebudayaan tersebut. Padahal, kalau mau jujur, bisa jadi mengenal keseniannya saja kita (saya) belum.

Kita percaya, banyak pihak yang telah berusaha keras untuk terus menjaga dan melestarikan kesenian tradisional seperti kethoprak dan lainnya, tapi, perimbangannya dirasa kurang, saat dunia global lebih berorientasi pada kemajuan teknologi ketimbang berkaca pada masa lalu. Tak ada yang keliru, namun alangkah baiknya kalau hal semacam ini perlu di luruskan, dikarenakan adanya masa sekarang karena masa lalu.

Peran televisi juga sangat vital dalam menjaga dan melestarikan budaya, selain TVRI, sepertinya sedikit stasiun televisi yang konsisten dalam menayangkan acara-acara tentang kesenian tradisional. Saya cenderung berfikir tentang orientasi profit ketimbang niatan melestarikan budaya. Dulu sempat booming acara ketoprak humor, ada juga sajian wayang kulit di salah satu TV swasta, tapi itu dulu, saat pasar belum jenuh.

Mungkin kurang bijak kalau kita terlalu mengkoreksi pihak lain, barangkali kita juga masih perlu belajar untuk mencintai kesenian tradisional dan kalau bisa turut melestarikannya. Soal sampai kapan kesenian tradisional akan bertahan, biarlah waktu nantinya yang memperjelas. Dan saat kita ingat masa lalu, kita kembali teringat tentang televisi hitam putih yang kini sudah jadi barang rongsok. Apakah kesenian tradisional akan bernasib sama dengan televisi hitam putih tersebut?, entahlah.

Saturday, October 31, 2015

Jathilanku Kini

Ketika Jathilan Tak Lagi Mengerikan (Eksistensi dalam Jebakan Modernisasi)


Jathilan, nama kesenian ini mungkin hanya populer di kalangan masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta pada umumnya dan di dusun Tepus desa Somorejo Bagelen  khususnya. Tapi jika menyebut nama "jaranan" atau "kuda lumping", maka ada banyak daerah termasuk di luar Jawa yang mengenalinya sebagai bentuk kesenian sekaligus tradisi yang dimainkan oleh sekelompok pria dan wanita yang menari di atas kuda tiruan dari anyaman bambu.

Ada banyak versi nama kuda lumping di berbagai daerah. Jika nama Jathilan lekat di Tepus Somorejo Bagelen Purworejo dan sekitarnya, maka di Banyumas dan Kebumen kesenian kuda lumping ini dikenal dengan nama Ebeg. Di Boyolali kesenian ini sering disebut Jelantur, sementara di Magelang nama Jaranan banyak digunakan. Di beberapa tempat di wilayah Yogyakarta ada beberapa kesenian lain yang mirip dengan Jathilan yakni Incling di Kulon Progo dan Ogleg di Bantul.

Jathilan sering dimainkan secara semi kolosal dengan melibatkan belasan hingga puluhan penari laki-laki dan wanita yang beberapa di antaranya memainkan karakter tertentu. Yang menarik dari Jathilan adalah bentuk tariannya yang meski dianggap monoton tapi justru terasa dinamis karena setiap gerakannya sangat kuat dan berkarakter. Meski memiliki beberapa perbedaan dalam hal kostum dan variasi gerakan tari, namun hampir semua bentuk kesenian kuda lumping termasuk Jathilan memiliki kesamaan mendasar dalam beberapa hal yakni bentuk tarian yang menggambarkan keperkasaan menyerupai prajurit perang, tarian yang terdiri dari beberapa babak dimainkan bergantian oleh kelompok penari pria dan wanita serta klimaks pertunjukkan yang ditandai dengan "trance" yang dalam istilah Jawa (di Tepus) disebut "ndadi" atau "kesurupan".

Jathilan Era Kini 
Dulu di era 90an kita kerap sekali menonton kesenian jathilan yang dipentaskan di sekitar tempat tinggal yaitu di dusun Tepus Somorejo. Kala itu setiap kali pentas, pertunjukkan ini dapat berlangsung 4-5 jam. Penarinya pun hanya beberapa orang pria yang rata-rata berumur di atas 30 tahun. Mereka menari dengan gerakan yang cenderung monoton, musik iringannya hanya berasal dari seperangkat alat musik tradisional yang tak terlalu variatif. Bunyian-bunyian yang mengiringi penari kuda lumping juga cenderung itu-itu saja dan diulang-ulang. Hanya di beberapa segmen tempo musiknya menjadi lebih cepat disesuaikan dengan gerakan sang penari. Saat para penari mulai kerasukan, musik yang dimainkan menjadi lebih cepat dan keras hingga memancarkan aura mistis yang sangat kuat.

Tapi itu dulu, kini Jathilan telah mengalami beberapa aktualisasi sebagai konsekuensi dari perkembangan globalisasi yang menyentuh banyak aspek kehidupan termasuk seni tradisi lokal. Semangat industrialisasi kesenian berpengaruh banyak pada perkembangan kesenian Jathilan hingga menjadi bentuk pertunjukkan yang lebih "modern" seperti saat ini.

Pertunjukkan Jathilan kini mengadopsi banyak unsur modern baik dalam hal peralatan musik, lagu-lagu pengiring, kostum yang lebih nyentrik, penari-penari berparas cantik, durasi waktu yang lebih pendek hingga bentuk kesurupan yang tak lagi menyeramkan.

Dahulu ketika para penari pria kesurupan, mereka seketika menjadi beringas dengan berlarian ke sana ke mari. Beberapa bahkan mengejar penonton untuk "menularkan" kesurupan. Setelah itu mereka akan kelelahan hingga akhirnya jatuh terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya "bangun" dan beraksi dengan memakan aneka benda seperti pecahan kaca (beling), makan bara api (mowo dalam bahasa jawa) hingga memanjat pohon. Aksi kesurupan ini bisa berlangsung lama dan ada kesan menyeramkan.

Tapi kini prosesi kesurupan seperti itu tak lagi banyak dijumpai. Aksi makan pecahan kaca dan bara api sering digantikan hanya dengan makan kembang dan menari dalam keadaan tak sadar. Memang tak ada kewajiban untuk makan pecahan kaca atau mengejar penonton, tapi kini prosesi "ndadi" tersebut memang berlangsung lebih singkat.

Modernisasi yang Dikritik 
Aktualisasi Jathilan dengan memasukan beberapa sentuhan teknologi dan bentuk modernisasi mungkin memang diperlukan sebagai strategi agar kesenian tua ini tetap dikenal dan tidak terpinggirkan. Sisi baiknya adalah hal itu membuat Jathilan lebih "ramah" untuk ditonton termasuk bagi anak-anak. Namun sayang berbagai bentuk aktualisasi tersebut telah membawa Jathilan ke dalam bentuk yang oleh banyak orang dianggap tak lagi orisinil dan melenceng dari nilai tradisi yang sebenarnya. Jika durasi pementasan yang diringkas menjadi hanya 2-3 jam dan hadirnya sejumlah penari berparas cantik masih dapat dimaklumi, maka bentuk modernisasi yang lain terus mengundang kritik.

Hadirnya beragam alat musik modern seperti keyboard dan drum, serta sentuhan teknologi digital seperti CD player untuk mengiringi Jathilan telah menimbulkan pro dan kontra. Beberapa seniman Jathilan menganggap penggunaan keyboard dan drum sebagai hal yang wajar karena kesenian seperti Jathilan perlu untuk berkembang termasuk dalam hal musik pengiringnya. Perpaduan alat musik tradisional seperti kendhang, gong dan bendhe dengan alat musik digital dianggap mampu memenuhi selera konsumen yang menghendaki musik Jathilan lebih "ear catchy". Hal ini penting sebagai bagian dari industrialisasi dan komersialisasi Jathilan.

Namun sebagian pelaku seni Jathilan lainnya dan masyarakat penikmatnya yang setia merawat orisinalitas kesenian ini menganggap sentuhan teknologi seperti keyboard, drum atau CD player telah melenceng dari sekedar pendukung iringan musik menjadi sebuah properti yang harus dimainkan. Hal ini dianggap melunturkan nilai-nilai sakral dalam tabuhan Jathilan yang awalnya terdengar  monoton.

Keprihatinan lainnya adalah kecenderungan disorientasi dalam setiap pementasan Jathilan yang kini semakin "ngepop". Sudah bukan hal baru lagi jika lagu-lagu pengiring Jathilan kini sudah jamak menggunakan tembang-tembang campur sari. Bahkan kadang lagu-lagu dangdut dan pop juga dibawakan oleh sang sinden untuk mengiringi penari Jathilan. Bentuk modernisasi ini dianggap telah melampaui batas aktualisasi sebuah seni tradisi seperti Jathilan. Akhirnya berbagai bentuk aktualisasi pertunjukkan Jathilan tersebut membuat masyarakat gagal memahami nilai tradisi di dalamnya dan hanya menikmati pertunjukkan ini sebagai pagelaran tari biasa.

Mengembalikan "Ruh" Jathilan
Jathilan mungkin sedang memasuki fase baru sebagai bagian yang tak bisa mengelak dari sentuhan globalisasi.

Sebagai bentuk kesenian, Jathilan memang perlu untuk bersikap luwes terhadap perkembangan zaman. Namun ketika kesenian yang mengandung banyak nilai spiritual ini tiba-tiba harus larut dan tunduk pada globalisasi maka hal itu sebenarnya bukanlah hal yang membanggakan melainkan memprihantinkan. Atas nama komersialisasi untuk menjaga eksistensi, Jathilan justru mengalami beberapa pencemaran nilai. Aktualisasi yang pada awalnya diusung sebagai pengembangan seni tanpa disadari telah melahirkan bentuk kreativitas yang dianggap kebablasan.

Sebagai kesenian tradisional yang populer, Jathilan mungkin perlu melihat kembali dirinya dalam bentuk semula. Sudah semestinya ruh Jathilan dikembalikan agar kesenian ini tak berubah bentuk menjadi pertunjukkan tanpa makna tapi kembali menjadi sarana untuk merawat budaya dan kearifan lokal.Tak harus selalu tunduk pada modernisasi, Jathilan dan kesenian tradisional Indonesia lainnya juga perlu untuk melawan globalisasi. Jathilan perlu menata dirinya kembali menjadi kuda lumping yang "mengerikan" agar nilai-nilai luhur di dalamnya tetap lestari bersamaan dengan eksistensi pertunjukkannya.

Sumber : Harian Kompas