Welcome To Tepus Somorejo Bagelen

Sunday, May 31, 2015

Tradisi Ruwahan Masyarakat Jawa Via Wali Songo

     Ruwahan berasal dari kata “Ruwah” merupakan bulan urutan ke delapan, dan disebut dengan bulan Sya’ban tahun Hijriyyah. Kata “ruwah”sendiri memiliki akar kata “arwah”, atau roh para leluhur dan nenek moyang. Konon dari arti kata arwah inilah bulan Ruwah dijadikan sebagai bulan untuk mengenang para leluhur.

     Ruwahan dilakukan sepuluh hari sebelum bulan puasa (Ramadhan). Pada tradisi ini sejumlah acara digelar menurut tradisi dan adat di setiap masing-masing daerah atau wilayah. Acara dimulai dari acara nisfu syaban, bersih (bersih pemakaman) yang diiringi slametan kecil lalu kenduren di malam hari.

     Selang beberapa harinya dilakukan nyadran, hingga berakhir pada acara padusan tepat di penghujung hari menjelang puasa.

     Tradisi ini pada intinya melambangkan kesucian dan rasa sukacita memasuki ibadah dibulan puasa yang merupakan bentuk iman kesolehan individual dan kolektif.

     Nisfu sya’ban dilakukan pada malam ke-15 pada bulan sya’ban. Rangkaian acaranya berupa membaca surah yasin, sholat sunah berjamaah di masjid kemudian dilanjutkan membaca doa nisfu sya’ban bersama-sama dan diakhiri dengan makan bersama (ambengan). Kegiatan ini ditujukan untuk rasa syukur kepada Allah SWT sekaligus salah satu bentuk penyucian diri sebelum masuk ke bulan suci Romadhon.

     Adapun acara bersih kubur, slametan, hingga kenduri serta megengan (kirim-kirim hantaran makanan) adalah manifestasi dari praktik doa bagi semua keluarga sanak saudaranya yang masih hidup dengan saling bersilaturahmi, saling memaafkan dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasa dengan rasa yang suci penuh suka cita menjadi kesadaran orang Islam Jawa.

     Biasanya isi hantaran tradisi megengan di Jawa tidak meninggalkan tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan apem. Makna dari ketiga makanan itu adalah:
ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi, kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan barokah penuh kemanisan dan apem berarti jika ada yang salah maka sekiranya bisa saling memaafkan.

     Seperti yang sudah sering dijelaskan di artikel-artikel lain, ketan, kolak, dan apem memperoleh makna dengan mengaitkan nama tersebut dengan suatu kata dalam bahasa Arab. Ketan dengan kata ‘Khata-an’ yang berarti ‘kesalahan’. Secara filosofis, ini bermakna bahwa manusia dituntut agar ingat pada perbuatan salah, yang berawal dari diri sendiri, dan kemudian diharapkan agar terhindar dari kesalahan yang sama.

     Kolak dengan kata ‘Kholaqo’ atau sering juga dengan kata 'kholiq' atau 'khaliq'. Artinya adalah ‘mencipta’. Dari sini, muncul harapan agar pelaku (yang membuat dan yang memakan) dapat semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Ini dalam rangka mendoakan orang yang telah meninggal dan berada di alam lain.

Sementara apem dengan kata ‘Afwun’ yang berarti ‘permintaan maaf’ atau ‘ampunan’. Tak hanya meminta maaf, apem ini juga dimaknai sebagai simbol agar manusia juga dapat mudah memaafkan kesalahan orang lain.

     Jangan heran dulu tradisi ruwahan juga mengenal Mudik Ruwahan. Sementara itu, pasar-pasar kagetan di bulan Ruwah ini biasanya hanya berselang satu minggu, pada mulanya pasar kagetan ini utamanya diperuntukkan untuk orang agar dapat membeli bahan-bahan kebutuhan selama awal-awal minggu di bulan puasa.

     Mudiknya orang Jawa untuk ruwahan tak ubahnya sedang mereplika kisah Nabi Muhammad ketika beliau dan para sahabatnya hijrah ke Yatsrib atau Madinah, yakni mudik untuk melakukan tiga hal yang dibangun untuk mengukuhkan iman keislaman yakni mendirikan masjid, pasar, dan mengikat tali persaudaraan.

     Hal pertama yang dilakukan oleh Rosul adalah membangun masjid, ini dimaknai dan dipraktikkan oleh orang Jawa dengan mudik untuk nyadran atau nyekar biasanya setelah shalat dhuhur dan slametan bersama di langgar atau masjid dan atau melaksanakan kenduren setelah shalat maghrib di masjid setempat.
Dengan demikian acara ruwahan adalah memakmurkan masjid, meningkatkan kualitas sujud syukurnya pada Allah SWT.

     Yang kedua ritual slametan, kenduren dan megengan di bulan Ruwah ini juga telah membangun pasar perekonomian setempat, kegiatan ini mendistribusikan rizki dari perkotaan ke kampung-kampung di Jawa.

     Yang terakhir tradisi ruwahan itu sendiri telah memperat rasa persaudaraan antara kaum mereka yang di kampung (Anshar) dan mereka yang mudik (Muhajirin). Sebuah tradisi yang akan diulang kembali oleh orang-orang Islam Jawa saat menjelang akhir ibadah puasa Romadhon sampai awal bulan Syawal.

     Nyadran adalah ziarah kubur untuk mengingatkan manusia kepada asal-usulnya (sangkan paraning dumadi) yaitu para leluhur. Nyadran di awali dengan membersihkan makam dan sekitarnya dari rerumputan liar dan sampah lalu membacakan tahlil dan yasin berdoa pada Tuhan agar mereka yang telah tiada senantiasa mendapat rahmat Ampunan dari Gusti Allah SWT.

     Nyadran sendiri berasal dari kata “sradha”, yang merupakan tradisi yang diawali oleh Ratu Tribuana Tunggadewi, raja ketiga Majapahit. Pada jaman itu Kanjeng Ratu ingin melakukan doa kepada sang ibunda Ratu Gayatri, dan roh nenek moyangnya yang telah diperabukan di Candi Jabo. Untuk keperluan itu dipersiapkanlah aneka rupa sajian untuk didermakan kepada para dewa. Sepeninggal Ratu Tribuana Tunggadewi, tradisi ini dilanjutkan juga oleh Prabu Hayam Wuruk.

     Di masa penyebaran agama islam oleh Wali Songo, tradisi tersebut kemudian diadopsi menjadi upacara nyadran karena bertujuan untuk mendoakan orang tua di alam barzah. Sebagaimana disebutkan dalam berbagai hadist, bahwasanya ketika seseorang telah meninggal dunia dan berada di alam barzah, maka semua amal kebaikan di dunia menjadi terputus kecuali tiga hal, yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang sholeh. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban anak dan cucu untuk senantiasa mendoakan arwah leluhurnya yang telah meninggal. Hanya saja sajian yang dibuat tidak lagi diperuntukkan bagi para dewa, tetapi sebagai sarana sodakoh kepada kaum fakir miskin.

     Pada acara nyadran, berbagai macam bunga ditaburkan di atas makam orang-orang yang kita cintai, oleh karena itu nyadran juga disebut nyekar ( sekar = bunga). Keindahan dan keharuman bunga menjadi simbol untuk selalu mengenang semua yang indah dan yang baik dari mereka yang telah mendahului. Dengan demikian, hal itu memberikan semangat bagi yang masih hidup untuk terus berlomba-lomba demi kebaikan (fastabaqul khoirat).
     Tradisi ruwahan ini ditutup dengan acara padusan biasanya dilakukan setelah Dhuhur atau Ashar untuk membersihkan diri lahir batin memasuki bulan Romadhon.

Friday, May 22, 2015

Sunan Geseng Penderes Dari Bagelen

Ilustrasi foto penderes nira
NDERES yang masyarakat Dusun Tepus juga menyebutnya Ndewan adalah pekerjaan menyadap manggar muda (calon buah kelapa) yang masih tertutup mancung untuk diambil air getahnya. Mancung dipotong dan air yang keluar ditampung dalam bumbung. Air hasil sadapan disebut legen, bahan baku gula kelapa.

Menurut cerita yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, Nderes diperkenalkan oleh Sunan Geseng. Ulama besar yang senantiasa berbaur dengan masyarakat tersebut dikenal sebagai murid Sunan Kalijaga. Sehari-harinya Sunan Geseng melakukan pekerjaan Nderes pohon kelapa.

Ternyata dalam pekerjaan nderes berisi pelajaran hidup yang sangat tinggi. Padahal di kalangan masyarakat pekerjaan nderes yang identik dengan pekerjaan golek uwuh (mencari sampah untuk bahan bakar mengolah gula jawa) dikonotasikan sebagai pekerjaan rendah. Seperti apa pelajaran yang disampaikan Sunan Geseng tersebut ;

Pada zaman dahulu, ada seorang wali yang terkenal sangat sakti, namanya ialah Kanjeng Sunan Kalijaga. Dalam usahanya untuk menyiarkan agama Islam, Kanjeng Sunan Kalijaga senantiasa berkelana ke berbagai tempat di seluruh tanah Jawa. Pada suatu hari, perjalanan Kanjeng Sunan Kalijaga sampai di wilayah Bagelen *.

Waktu itu, sebagian besar penduduk Bagelen bermata pencaharian sebagai tukang “nderes” (penyadap nira). Saat Kanjeng Sunan Kalijaga tiba di Bagelen, ia menjumpai seseorang yang akan nderes. Orang itu membawa tabung bambu sebagai wadah legen/nira (bumbung wadah legen) yang diikatkan pada punggungnya.

Pada saat akan memanjat pohon kelapa, orang itu mengucapkan mantra tetembangan :

“Klonthang-klanthung, wong nderes buntute bumbung, koe gelem opo ora” (klontang-klanthung, orang nderes ekornya bumbung, kamu mau apa tidak).

Mendengar itu, bertanyalah Kanjeng Sunan Kalijaga:

“Ki sanak, mengapa waktu akan kamu memanjat mengucapkan kalimat itu?”

“Yang saya ucapkan itu bukan kalimat sembarangan,” jawab yang ditanya. “Kalimat itu mantranya tukang nderes seperti saya ini, bila ingin hasil yang banyak.”

“Caramu itu kurang tepat, ki sanak,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga.

Mendengar itu, tukang nderes tersebut nampak tersinggung, lalu katanya:

“Ki sanak rupanya belum tahu. Aku ini Kyai Cokrojoyo. Semua orang di Bagelen ini tahu siapa aku. Aku menjadi tukang nderes ini sejak kecil. Dan pekerjaan ini adalah warisan dari nenek moyangku. Sejak nenek moyangku dahulu, mantra-mantra tukang nderes ya seperti itu. Mengapa ki sanak mau menggurui aku?”

“Maafkan aku, Kyai Cokrojoyo,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga. “Bukan maksudku akan menggurui Kyai. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku mempunyai mantra yang akan dapat menelorkan hasil lebih banyak lagi.”

“Maksud ki sanak, mantra itu dapat menghasilkan legen lebih banyak lagi?” tanya Kyai Cokrojoyo.

“Bukannya menghasilkan legen yang banyak, melainkan meskipun sedikit, tetapi dapat untuk menghidupi seluruh keluarga selama satu tahun,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga.

“Omong kosong,” kata Kyai Cokrojoyo dengan perasaan jengkel.

“Kalau aku boleh membuktikan, mungkin ki sanak akan mempercayai omonganku,” Kanjeng Sunan Kalijaga menjelaskan.

“Silakan ki sanak membuktikannya,” kata Kyai Cokrojoyo.

“Bolehkah aku ikut memasak legen itu?” tanya Kanjeng Sunan.

“Silakan,” jawab Kyai Cokrojoyo.

Kanjeng Sunan Kalijaga lalu mengikuti Kyai Cokrojoyo pulang. Sesampai di rumah Kyai Cokrojoyo, mereka berdua mulai memasak legen, lalu di cetak dengan tempurung kelapa, untuk dijadikan gula. Kanjeng Sunan mencetak satu tangkep, lalu diserahkan kepada Kyai Cokrojoyo.

“Kyai, sekarang aku akan melanjutkan perjalanan. Pesanku: gula satu tangkep ini jangan dibuka, sebelum aku keluar dari desa ini.

” Setelah berkata demikian, Kanjeng Sunan Kalijaga lalu meninggalkan rumah Kyai Cokrojoyo.

Beberapa saat lamanya setelah Kanjeng Sunan Kalijaga pergi, barulah Kyai Cokrojoyo membuka cetakan gula yang diserahkan oleh tamunya tadi. Betapa terkejut Kyai Cokrojoyo, setelah tahu isi cetakan itu, bukanlah gula kelapa, melainkan emas.

Kini tahulah Kyai Cokrojoyo, bahwa tamunya tadi bukannya orang sembarangan, melainkan orang yang memiliki kesaktian luar biasa.

“Kalau bukan orang sakti, tidak mungkin dia memiliki kemampuan luar biasa seperti itu,” begitu pikir Kyai Cokrojoyo. Cepat-cepat dia berlari keluar dari rumahnya, mengejar tamunya yang baru saja berangkat. Emas sebesar satu tangkep gula kelapa, ditinggalkannya begitu saja.

Setelah berhasil mengejar, Kyai Cokrojoyo pun berkata: “Kalau saya diperbolehkan mengetahui bagaimana bunyi mantra itu, maka hidup matiku kuserahkan kepada Kanjeng Sunan,” begitu kata Kyai Cokrojoyo setelah berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kalijaga.

“Mantra yang mana?” sambung Kanjeng Sunan.

“Mantra untuk membuat gula berubah menjadi emas,” jawab Kyai Cokrojoyo.

“Untuk mendapat mantra itu, imbalannya sangat besar,” kata Kanjeng Sunan.

“Apakah imbalannya, Kanjeng Sunan?” tanya Kyai Cokrojoyo.

“Laku, celathu, tumindak **,” jawab Kanjeng Sunan Kalijaga. “Kalau kamu ingin, bergurulah kepadaku. Ikutilah segala tingkah lakuku.

”Singkat cerita, sejak saat itu, Kyai Cokrojoyo meninggalkan tempat tinggalnya di Bagelen, meninggalkan segala barang miliknya, lalu mengikuti Kanjeng Sunan Kalijaga berkelana. Selama berkelana itu, Kanjeng Sunan Kalijaga mengajarkan ajaran agama Islam kepada Kyai Cokrojoyo.

Pada suatu hari, berkatalah Kanjeng Sunan Kalijaga: “Anakku Cokrojoyo. Aku akan bersembahyang ke Mekkah. Tongkatku ini kutinggalkan di sini,” sambil berkata begitu, Kanjeng Sunan Kalijaga menancapkan tongkat bambunya ke tanah. “Jagalah tongkatku ini selama aku pergi. Jangan kau meninggalkan tempat ini sebelum mendapat perintahku.”

“Sendiko dhawuh,” kata Kyai Cokrojoyo.

Kanjeng Sunan pergi, sedang Cokrojoyo dengan setianya melaksanakan pesan Kanjeng Sunan. Dia duduk bersila di dekat tongkat yang ditancapkan di tanah itu.

Ternyata kepergian Kanjeng Sunan Kalijaga itu lama sekali, sehingga pada saat kembali lagi di tempat beliau menancapkan tongkat, keadaan telah berubah. Tempat itu telah ditumbuhi “dhapuran pring ori” (sejenis pohon bambu) yang rimbun sekali. Kyai Cokrojoyo duduk bersila dengan tenangnya di tengah rumpun bambu itu.

“Mengapa kau tetap di situ?” tanya Kanjeng Sunan.

“Mematuhi pesan Kanjeng Sunan, saya tidak pergi meninggalkan tempat ini sebelum mendapat perintah.”

“Kalau begitu, kuperintahkan, keluarlah dari situ,” kata Kanjeng Sunan.

“Maaf, Kanjeng Sunan,” jawab Kyai Cokrojoyo. “Tanpa bantuan Kanjeng Sunan, tak mungkin saya dapat keluar dari rumpun bambu yang penuh duri ini.”

“Bagaimana kalau ku bakar dhapuran bambu ini?” tanya Kanjeng Sunan.

“Silakan, Kanjeng Sunan,” kata Kyai Cokrojoyo tegas.

“Kau tidak takut terbakar?” tanya Kanjeng Sunan Kalijaga.

“Mematuhi perintah Kanjeng Sunan, apapun yang terjadi, hamba tidak takut menghadapinya,” kata Kyai Cokrojoyo.

Kanjeng Sunan lalu membakar rumpun bambu itu. Api berkobar memakan habis rumpun bambu itu, dan Kyai Cokrojoyo dapat keluar dengan selamat, hanya kulitnya menjadi hitam karena hangus.

“Sekarang ujianmu sudah lulus, maka kamu kuberi sebutan Sunan,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga. “Dan karena tubuhmu geseng (hangus), maka kamu kunamakan Geseng. Sejak saat itu, Kyai Cokrojoyo dikenal dengan nama Sunan Geseng.

“Karena api yang mulad-mulad (berkobar-kobar) yang dapat membebaskan kamu dari kungkungan rumpun bambu, maka tempat ini kunamakan Muladan”.

Dari tempat itu, Sunan Geseng lalu diajak berjalan ke arah timur. Di suatu tempat, Kanjeng Sunan Kalijaga lalu menancapkan tongkatnya. Setelah tongkat itu dicabut, timbullah sumber air dan menjadi sendang. Sunan Geseng disuruh mandi di sendang itu. Seketika itu pula kotoran hangus pada tubuh Sunan Geseng dapat bersih terhapus, hanyut di bawa aliran air, sampai di sungai yang dinamakan Kedhung Pucung, dan sendang itu dinamakan Sendang Banyu Urip.

“Jebeng,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga. “Kali Kedhung Pucung ini tempat tertampungnya noda kotoran atau cemar yang semula melekat pada tubuhmu. Para punggawa pemerintah jangan mandi di sungai ini, agar jangan kena cemar.

”Konon, sampai sekarang, kepercayaan terhadap pengaruh air kali Kedhung Pucung itu masih hidup. Para pegawai pemerintah dan alat negara, tak berani mandi di kali itu, khawatir dipecat atau turun pangkat.

Selanjutnya Kanjeng Sunan Kalijaga mengajak Sunan Geseng berjalan ke arah barat. Sampai di suatu tempat, mereka berdua berhenti, lalu menetap. Di tempat itu Kanjeng Sunan Kalijaga memberikan wejangan yang mendalam tentang agama Islam kepada Sunan Geseng. Dengan tekunnya Sunan Geseng ngaji (mempelajari) ilmu yang dituangkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Tempat itu akhirnya berkembang menjadi sebuah desa, disebut Desa Ngajen***.



Sumber:

Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


* Bagelen dahulu termasuk dalam Karesidenan Kedu, Provinsi Jawa Tengah.

** Laku, celathu, tumindak artinya berlaku, berbicara dan bertindak baik.

*** Desa Ngajen saat ini berada di wilayah Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Thursday, May 14, 2015

Dakwah Sosio Kultural ala Wali Songo (Bagian 2)



III. Mengembangkan hubungan damai dengan penduduk setempat/pribumi, tidak mengembangkan hubungan yang bermusuhan. Hubungan damai dibentuk dengan langkah halus, pelan-pelan secara bertahap diberlakukan dengan cara mengkombinasikan kultur setempat dimasukan kedalamnya roh Islami. Penduduk memiliki kesukaan kesenian wayang, oleh karena itu wayang dimanfaatkan oleh para Wali Songo sebagai media da’wah yang sangat efektif.

Pada mulanya wayang pada masa itu masih berwujud patung-patung. Lalu oleh Wali Sango diganti dengan bentuknya seperti yang sekarang, pipih terbuat dari kulit, lebih merupakan bayang-bayang dalam wujud dua dimensi , yang melambangkan watak seseorang. Yang jahat berwujud raksasa, sedang orang yang baik ditampilkan dalam bentuk seorang kasatria seperti Yudhistira. Kemudian lakon-lakonnya dirubah, dan ceritera-ceriteranya diarahkan kepada Tauhid. Oleh karena itu dewa-dewa mulai dari Batara guru, Batara Brahma, Wisnu, Shiwa, bahkan sampai Sang Hyang Tunggal adalah sesungguhnya masih keturunan Nabi Adam AS. Nabi Adam AS menurunkan Nabi Sis, kemudian berputra Nurcahya, menurunkan Nurasa, dari Nurasa lahir Sang Hyang Wening, kemudian Sang Hyang Tunggal, berputrakan Sang Hyang Guru, berputra lima, Batara Sambo, Batara Brahma, Batara Maha Dewa, Batara Wisnu dan Dewi Sri, dan seterusnya. Dan Allah YME, Maha Pencipta, Tuhan Yang Maha Tinggi dalam pewayangan disebutkan sebagai Hyang Kang Murbeng Dumadi, Hyang Ingkang Maha Suci, yang tan kinoyo ngopo (tidak dapat dilukiskan dengan bentuk apapun juga), tidak beranak dan tidak diperanakan, Qul Huwallahhu ahad..

Wayang Yudhistira digambarkan orang yang sangat jujur memiliki pusaka sakti Jamus Kalimasada dari makna Kalimah Syahadat, sehingga tidak bisa mati-mati, orangnya menjadi abadi maksudnya abadi amalnya. Dalam cerita Prabu Yudhistira mengembara terus menerus, akhirnya ketemu dengan Sunan Kalijaga. Prabu Yudhistira kemudian bertanya kepada Sunan Kalijaga: ”Saya ini punya Jamus Kalimasada menyebabkan saya tidak bisa mati-mati apa yang harus saya perbuat ? Kemudian Kanjeng Sunan Kalijaga memerintahkan kepada Yudhistira agar membuka Jamus Kalimasada, dan ternyata isinya berupa tulisan. Tetapi Yudhistira tidak dapat membacanya, yang kemudian Kanjeng Sunan mengajarinya sampai dapat membaca. Ternyata isinya adalah lafal Kalimah Syahadat, Setelah membaca Kalimat Syahadat Prabu Puntodewo atau Yudhistira meninggal dunia.

Bagaimana cara merubah ingatan kolektif yang dulunya serba bernuansa keanimismean dan dewa-dewa, dijadikan kearah Islam demikian juga lakon-lakonnya. Jadi ada kisah Isro Mi’raj sementara dalam wayang ada kisah Dewa Ruci. Oleh karena itu serat Dewa Ruci yang ada di pewayangan dirubah juga sehingga dimaknai kisah yang membeberkan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW, dan diberi makna lain serat Dewa Ruci yang melambangkan bagaimana Bima itu kasatria kedua dalam Pandawa itu mencari hakekat kehidupan yang disebut Tirto Perwito Sari. Air kehidupan, siapa yang mendapatkannya itu akan mengerti benar makna hidup. Oleh karena itu dalam peringatan Isra Mi’raj biasanya kalau mengadakan pagelaran wayang kulit di pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur lakonnya Dewa Ruci.
Diceritakan bahwa Bima berguru kepada Pandita Durna ingin mendapatkan Tirto Perwito Sari, disuruhnya Bima oleh gurunya, agar mendatangi puncak Gunung Rekso Muko, dan pusat Samudra. Bima bertemu dengan 2 raksasa yang menjaga puncak Rekso Muko. Bima dihalangi tidak boleh melanjutkan perjalanan mencari Tirta perwito Sari. Terjadilah perkelahian antara Bima dengan 2 raksasa penjaga gunung Wrekso Muko. Akhirnya Bima dapat membunuh 2 raksasa dengan senjatanya kuku Ponconoko. Bima melanjutkan perjalanannya menuju tengah Samudra. Di pantai Bima dihadang oleh 4 orang raksasa, dan terjadilah perkelahian, yang akhirnya 4 orang raksasa mati oleh kuku Ponconoko Bima. Perjalanan untuk mencari Tirto Perwito Sari dilanjutkan oleh Bima ke tengan samudra. Bima dihadang oleh seekor ular naga yang sangat besar dan sangat ganas, yang segera melilit badan Bima, paha Bima dijjepit dengan sangat kuatnya, lagi-lagi Bima dapat membunuhnya dengan kuku Ponconoko. Setelah itu barulah ketemu dengan Dewa Ruci yang bertubuh kecil, Bima disuruh masuk melalui lubang telinga sebelah kanan sampai mendapatkan Tirto Perwito Sari.

Dalam hidup manusia akan selalu menghadapi ujian yang pertama seperti yang digambarkan dengan Gunung Wrekso Muko yang dijaga 2 raksasa. Rekso artinya memelihara, Muko artinya penampilan . Orang hidup banyak disesatkan karena tergoda karena ingin menjaga penampilan, orang ingin rumahnya bagus, punya kendaraan yang baik, punya istri yang cantik, kalau perolehannya tidak didasarkan petunjuk Tito Perwito Sari yaitu air kehidupan, tidak berdasarkan sari’at agama, artinya kita dikalahkan oleh dua raksasa yang mendiami puncak Wrekso Muko tadi. Kemudian membunuh 4 orang raksasa yang menghambat perjalanan, artinya orang hidup akan selalu menghadapi rintangan berupa 4 nafsu , keempat unsur nafsu itu adalah ;
tanah (lambang nafsu Muthmainah), angin (lambang nafsu lawwamah), Api (lambang nafsu Amarah), dan Air (lambang nafsu Sufiyah). Nafsu-nafsu itu bersarang didalam tubuh kita, dan harus dikalahkan kalau ingin ketemu Tirto Perwito Sari. Perjalanan sampai ditengah Samudra melambangkan kita hidup menghadapi cobaan paling berat nafsu yang datang bergelombang sangat besar karena datangnya ular naga raksasa yang menjepit paha kita, berupa nafsu sahwat nafsu seksual laki-laki, orang boleh saja tahan godaan dunia, tidak mempan dikasih mobil mewah, tidak mempan dikasih rumah, tahan tidak menerima uang haram, akan tetapi kalau ular naga yang ada dibalik pahanya sudah mengamuk, “weladalah jagad dewo bathoro” , dan lagi-lagi harus dikalahkan dengan jimat kuku Ponconoko. Para Wali Songo menerangkan yang dimaksud dengan jimat kuku Ponco Noko adalah sholat lima waktu. Kemudian Wali songo menembangkan tembang Ilir-Ilir berupa lagu puji-pujian yang mengiringi perjalanan dalam mencari Tirto Perwito Sari.

Lir-Ilir Lir Ilir, Tandure wis sumilir, Tak ijo royo-royo, Tak senggo temanten anyar, Cah angon cah angon, penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno, Kanggo masuh dodot iro, dodot iro dodot iro, kumitir bedahing pinggir, Dondomono jlumatono, Kanggo sebo mengko sore, Mumpung padang Rembulane, mumpung jembar kalangane, yo surako surak iyo.

( Ilir-ilir …tanaman sudah berkembang, tampak menghijau ibarat pengantin baru…anak gembala, anak gembala…panjatlah pohon belimbing itu…meski licin panjatlah, untuk mencuci kain-kain, kain…yang sudah robek pinggirnya… jahitlah dan tamballah untuk menghadap Gusti nanti sore…mumpung bulan terang, mumpung masih ada kesempatan hidup yang luas) makna tersirat adalah ilir-ilir mari kita bangkit , tandure wong sumilir, tandur itu tanaman padi mulai subur keinginan berbuat baik keinginan ingin hidup bermakna sudah bangkit, maka penekno blimbing kuwi, ambil itu blimbing , blimbing itu belahannya lima , jalankan sholat lima waktu , lunyu-lunyu penekno kanggo sebo mengkosore , walaupun licin jalankanlah karena itu nanti jadi sangu/bekal untuk persembahan kepada Yang Maha Agung, bekal kamu di akherat kelak, mumpung masih hidup dan selagi masih diberikan kesempatan,untuk bertobat dan berbahagialah, dan selalu dirahmati Allah SWT.

IV. Pengembangannya secara gradual, tentu saja orang tidak bisa langsung, orang yang tadinya kepercayaannya dan cara ibadahnya yang sama sekali berbeda dengan yang diajarkan oleh para Wali Songo, maka pengenalan Islam harus dilakukan secara bertahap karena itu yang utama dirubah adalah adat istiadatnya kemudian dongeng-dongengnya yang ada di cerita wayang/legenda kemudian tembang-tembangnya/keseniannya, symbol-simbol dirubah kemudian secara bertahap dimasukan ajaran Islam kedalamnya.
Oleh karena itu bulan-bulan Jawa dulu yaitu bulan Saka dirubah oleh Sultan Agung yang Islamnya model para Wali , kemudian ditetapkanlah tahun Hijriyah itu sebagai tahun Jawa.
Oleh karena itu nama hari-hari Jawa mulai dari Ahad, Senen, Seloso, Rebu, Kemis, Jemuah, Setu. Nama bulan-bulanya pun kemudian menjadi bulan Islam tetapi disesuaikan mana yang mudah diingat. Oleh karena itu bulan awal Muharam itu disebut Syuro. Diambil dari kata Asyuro yang 10 karena tanggal 10 banyak kejadian sejarah pada bulan itu dan agar mudah diingat disebut bulan Syuroan atau Asyuroan. Demikian pula bulan Ramadhan, bulan Sya’ban diganti dengan bulan ruwah, asal dari kata arwah jamaknya ar-ruuh yaitu orang yang mempersiapkan ruhnya menghadapi bulan Ramadhan atau bulan Poso, oleh karena itu diberi tradisi yang di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut Nyadran, yaitu orang-orang pergi ke makam –makam , untuk mengingat mati, oleh sebab itu ruuh kita harus dibersihkan., Ramadhan sendiri diganti namanya menjadi bulan Poso, (karena pada bulan ini dikenal sangat akrab dengan kebiasaan orang Jawa melakukan puasa, tapa brata, mencegah makan dan minum, bertapa ngebleng dan seterusnya),
1. Syuro, 2. Sapar, 3. Mulud, 4. Ba'da Mulud, 5. Jumadi Awal, 6. Jumadil Akhir, 7. Rejeb, 8. Ruwah (Arwah, Saban), 9. Poso (Puwasa, Siyam, Ramelan), 10. Syawal, 11. Dulkangidah (Hapit, Sela), 12. Dulkahijah (Besar).

Kebiasaan masyarakat Jawa Tengah khususnya, setiap bulan Ruwah (Arwah, Saban), ibu-ibu selalu menyediakan jenis makanan atau kue tertentu antara lain ketan, kolak, apem. Maknanya, ketan dari kata khoto’an itu kesalahan, lalu kolak dari kata khola dalam surah al-Imran “ qod kholat min qoblikum sunanun fil ardhi fanzhuru kayfa kaana aqibatul mutaqqin” khola itu yang telah lewat/yang telah berlalu jadi ketan kolak sebagai kesalahan yang telah lalu, terus makan apem dari kata afwwun, sebab do’a yang tidak boleh ditinggalkan di bulan Ramadhan waktu Terawih adalah “Allahuma innaka afuwwun tuhibbul afwa fa’fu’anna” afuwwun artinya ampunan, karena kebiasaan pengucapan oleh orang Jawa suka diambil sekenanya maka menjadi afuwwun menjadi afem akhirnya apem, yang artinya ampunan. Jadi kesalahan yang telah lewat, kemudian diganti dengan ampunan, kemudian barulah masuk bulan Puasa.

Sampai saat ini perayaan sekaten di Jogyakarta masih tetap dimeriahkan untuk mengenang perjuangan Para Wali Songo dalam berda’wah di Kerajaan Mataram. Sekaten disimbolkan dengan gamelan Kiai Sekati dan Nyai Sekati di tabuh di depan Gapura Masjid Besar, suara yang diperdengarkan sangat sederhana, Ning…Nong….Gung, diam kemudian seperempat jam kemudian bunyi lagi, Ning…Nong…Gung, maknanya marilah masuk ke masjid rumah Allah SWT, lewat Gapura, gapura berasal dari kata Ghofuro ampunan Allah SWT, dengan hati yang hening Ning… menuju keagungan Allah SWT.

Kemudian dilanjutkan suara panggilan berikutnya dengan suara kentongan dan bunyi bedug, tong..tong..tong..tong..tong..deng..deng..deng..deng..Marilah sedulur-sedulur masuklah ke Masjid rumah Allah SWT, minta ampunan, masjidnya masih kosong, kosong, masjidnya masih kosong, isih sedeng isih sedeng/masih muat..masih muat, masih sedeng, jadi ampunan Allah SWT itu luas banget, jangan khawatir.

V. Menampilkan Islam sebagai agama yang membebaskan. Liberating force. Jadi kalau dulu membebaskan dari kasta pada jaman Wali Songo, sehingga semua sama dihadapan Allah SWT. Pada masa penjajahan belanda, Potugis, Inggris, dan penjajahan Jepang, Islam tampil sebagai agama yang menyatukan penduduk pribumi melawan pendudukan asing. Dalam konteks sekarang membebaskan dari keterbelakangan, membebaskan dari kemiskinan, membebaskan dari keterpurukan.

Demikian para Wali Songo dalam da’wahnya dengan cara yang manis telaten dan sangat sabarnya menyajikan Islam sebagai agama yang sederhana, menonjolkan persamaan dengan kepercayaan yang sudah ada, ketiga mengembangkan hubungan damai dengan pribumi, mengembangkan secara gradual, dan menampilkan Islam sebagai Agama pembebas. Oleh sebab itu kalau dalam konteks yang sekarang Wali Songo masih relavan. Wajah Islam di Indonesia yang khas, yang harus ramah tidak marah, sehingga kalau mau merobah Islam Indonesia menjadi marah-marah itu malahan tidak produktif. Wallahu a’lam.