Welcome To Tepus Somorejo Bagelen
Showing posts with label sejarah Penderes Bagelen. Show all posts
Showing posts with label sejarah Penderes Bagelen. Show all posts

Friday, May 22, 2015

Sunan Geseng Penderes Dari Bagelen

Ilustrasi foto penderes nira
NDERES yang masyarakat Dusun Tepus juga menyebutnya Ndewan adalah pekerjaan menyadap manggar muda (calon buah kelapa) yang masih tertutup mancung untuk diambil air getahnya. Mancung dipotong dan air yang keluar ditampung dalam bumbung. Air hasil sadapan disebut legen, bahan baku gula kelapa.

Menurut cerita yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, Nderes diperkenalkan oleh Sunan Geseng. Ulama besar yang senantiasa berbaur dengan masyarakat tersebut dikenal sebagai murid Sunan Kalijaga. Sehari-harinya Sunan Geseng melakukan pekerjaan Nderes pohon kelapa.

Ternyata dalam pekerjaan nderes berisi pelajaran hidup yang sangat tinggi. Padahal di kalangan masyarakat pekerjaan nderes yang identik dengan pekerjaan golek uwuh (mencari sampah untuk bahan bakar mengolah gula jawa) dikonotasikan sebagai pekerjaan rendah. Seperti apa pelajaran yang disampaikan Sunan Geseng tersebut ;

Pada zaman dahulu, ada seorang wali yang terkenal sangat sakti, namanya ialah Kanjeng Sunan Kalijaga. Dalam usahanya untuk menyiarkan agama Islam, Kanjeng Sunan Kalijaga senantiasa berkelana ke berbagai tempat di seluruh tanah Jawa. Pada suatu hari, perjalanan Kanjeng Sunan Kalijaga sampai di wilayah Bagelen *.

Waktu itu, sebagian besar penduduk Bagelen bermata pencaharian sebagai tukang “nderes” (penyadap nira). Saat Kanjeng Sunan Kalijaga tiba di Bagelen, ia menjumpai seseorang yang akan nderes. Orang itu membawa tabung bambu sebagai wadah legen/nira (bumbung wadah legen) yang diikatkan pada punggungnya.

Pada saat akan memanjat pohon kelapa, orang itu mengucapkan mantra tetembangan :

“Klonthang-klanthung, wong nderes buntute bumbung, koe gelem opo ora” (klontang-klanthung, orang nderes ekornya bumbung, kamu mau apa tidak).

Mendengar itu, bertanyalah Kanjeng Sunan Kalijaga:

“Ki sanak, mengapa waktu akan kamu memanjat mengucapkan kalimat itu?”

“Yang saya ucapkan itu bukan kalimat sembarangan,” jawab yang ditanya. “Kalimat itu mantranya tukang nderes seperti saya ini, bila ingin hasil yang banyak.”

“Caramu itu kurang tepat, ki sanak,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga.

Mendengar itu, tukang nderes tersebut nampak tersinggung, lalu katanya:

“Ki sanak rupanya belum tahu. Aku ini Kyai Cokrojoyo. Semua orang di Bagelen ini tahu siapa aku. Aku menjadi tukang nderes ini sejak kecil. Dan pekerjaan ini adalah warisan dari nenek moyangku. Sejak nenek moyangku dahulu, mantra-mantra tukang nderes ya seperti itu. Mengapa ki sanak mau menggurui aku?”

“Maafkan aku, Kyai Cokrojoyo,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga. “Bukan maksudku akan menggurui Kyai. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku mempunyai mantra yang akan dapat menelorkan hasil lebih banyak lagi.”

“Maksud ki sanak, mantra itu dapat menghasilkan legen lebih banyak lagi?” tanya Kyai Cokrojoyo.

“Bukannya menghasilkan legen yang banyak, melainkan meskipun sedikit, tetapi dapat untuk menghidupi seluruh keluarga selama satu tahun,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga.

“Omong kosong,” kata Kyai Cokrojoyo dengan perasaan jengkel.

“Kalau aku boleh membuktikan, mungkin ki sanak akan mempercayai omonganku,” Kanjeng Sunan Kalijaga menjelaskan.

“Silakan ki sanak membuktikannya,” kata Kyai Cokrojoyo.

“Bolehkah aku ikut memasak legen itu?” tanya Kanjeng Sunan.

“Silakan,” jawab Kyai Cokrojoyo.

Kanjeng Sunan Kalijaga lalu mengikuti Kyai Cokrojoyo pulang. Sesampai di rumah Kyai Cokrojoyo, mereka berdua mulai memasak legen, lalu di cetak dengan tempurung kelapa, untuk dijadikan gula. Kanjeng Sunan mencetak satu tangkep, lalu diserahkan kepada Kyai Cokrojoyo.

“Kyai, sekarang aku akan melanjutkan perjalanan. Pesanku: gula satu tangkep ini jangan dibuka, sebelum aku keluar dari desa ini.

” Setelah berkata demikian, Kanjeng Sunan Kalijaga lalu meninggalkan rumah Kyai Cokrojoyo.

Beberapa saat lamanya setelah Kanjeng Sunan Kalijaga pergi, barulah Kyai Cokrojoyo membuka cetakan gula yang diserahkan oleh tamunya tadi. Betapa terkejut Kyai Cokrojoyo, setelah tahu isi cetakan itu, bukanlah gula kelapa, melainkan emas.

Kini tahulah Kyai Cokrojoyo, bahwa tamunya tadi bukannya orang sembarangan, melainkan orang yang memiliki kesaktian luar biasa.

“Kalau bukan orang sakti, tidak mungkin dia memiliki kemampuan luar biasa seperti itu,” begitu pikir Kyai Cokrojoyo. Cepat-cepat dia berlari keluar dari rumahnya, mengejar tamunya yang baru saja berangkat. Emas sebesar satu tangkep gula kelapa, ditinggalkannya begitu saja.

Setelah berhasil mengejar, Kyai Cokrojoyo pun berkata: “Kalau saya diperbolehkan mengetahui bagaimana bunyi mantra itu, maka hidup matiku kuserahkan kepada Kanjeng Sunan,” begitu kata Kyai Cokrojoyo setelah berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kalijaga.

“Mantra yang mana?” sambung Kanjeng Sunan.

“Mantra untuk membuat gula berubah menjadi emas,” jawab Kyai Cokrojoyo.

“Untuk mendapat mantra itu, imbalannya sangat besar,” kata Kanjeng Sunan.

“Apakah imbalannya, Kanjeng Sunan?” tanya Kyai Cokrojoyo.

“Laku, celathu, tumindak **,” jawab Kanjeng Sunan Kalijaga. “Kalau kamu ingin, bergurulah kepadaku. Ikutilah segala tingkah lakuku.

”Singkat cerita, sejak saat itu, Kyai Cokrojoyo meninggalkan tempat tinggalnya di Bagelen, meninggalkan segala barang miliknya, lalu mengikuti Kanjeng Sunan Kalijaga berkelana. Selama berkelana itu, Kanjeng Sunan Kalijaga mengajarkan ajaran agama Islam kepada Kyai Cokrojoyo.

Pada suatu hari, berkatalah Kanjeng Sunan Kalijaga: “Anakku Cokrojoyo. Aku akan bersembahyang ke Mekkah. Tongkatku ini kutinggalkan di sini,” sambil berkata begitu, Kanjeng Sunan Kalijaga menancapkan tongkat bambunya ke tanah. “Jagalah tongkatku ini selama aku pergi. Jangan kau meninggalkan tempat ini sebelum mendapat perintahku.”

“Sendiko dhawuh,” kata Kyai Cokrojoyo.

Kanjeng Sunan pergi, sedang Cokrojoyo dengan setianya melaksanakan pesan Kanjeng Sunan. Dia duduk bersila di dekat tongkat yang ditancapkan di tanah itu.

Ternyata kepergian Kanjeng Sunan Kalijaga itu lama sekali, sehingga pada saat kembali lagi di tempat beliau menancapkan tongkat, keadaan telah berubah. Tempat itu telah ditumbuhi “dhapuran pring ori” (sejenis pohon bambu) yang rimbun sekali. Kyai Cokrojoyo duduk bersila dengan tenangnya di tengah rumpun bambu itu.

“Mengapa kau tetap di situ?” tanya Kanjeng Sunan.

“Mematuhi pesan Kanjeng Sunan, saya tidak pergi meninggalkan tempat ini sebelum mendapat perintah.”

“Kalau begitu, kuperintahkan, keluarlah dari situ,” kata Kanjeng Sunan.

“Maaf, Kanjeng Sunan,” jawab Kyai Cokrojoyo. “Tanpa bantuan Kanjeng Sunan, tak mungkin saya dapat keluar dari rumpun bambu yang penuh duri ini.”

“Bagaimana kalau ku bakar dhapuran bambu ini?” tanya Kanjeng Sunan.

“Silakan, Kanjeng Sunan,” kata Kyai Cokrojoyo tegas.

“Kau tidak takut terbakar?” tanya Kanjeng Sunan Kalijaga.

“Mematuhi perintah Kanjeng Sunan, apapun yang terjadi, hamba tidak takut menghadapinya,” kata Kyai Cokrojoyo.

Kanjeng Sunan lalu membakar rumpun bambu itu. Api berkobar memakan habis rumpun bambu itu, dan Kyai Cokrojoyo dapat keluar dengan selamat, hanya kulitnya menjadi hitam karena hangus.

“Sekarang ujianmu sudah lulus, maka kamu kuberi sebutan Sunan,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga. “Dan karena tubuhmu geseng (hangus), maka kamu kunamakan Geseng. Sejak saat itu, Kyai Cokrojoyo dikenal dengan nama Sunan Geseng.

“Karena api yang mulad-mulad (berkobar-kobar) yang dapat membebaskan kamu dari kungkungan rumpun bambu, maka tempat ini kunamakan Muladan”.

Dari tempat itu, Sunan Geseng lalu diajak berjalan ke arah timur. Di suatu tempat, Kanjeng Sunan Kalijaga lalu menancapkan tongkatnya. Setelah tongkat itu dicabut, timbullah sumber air dan menjadi sendang. Sunan Geseng disuruh mandi di sendang itu. Seketika itu pula kotoran hangus pada tubuh Sunan Geseng dapat bersih terhapus, hanyut di bawa aliran air, sampai di sungai yang dinamakan Kedhung Pucung, dan sendang itu dinamakan Sendang Banyu Urip.

“Jebeng,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga. “Kali Kedhung Pucung ini tempat tertampungnya noda kotoran atau cemar yang semula melekat pada tubuhmu. Para punggawa pemerintah jangan mandi di sungai ini, agar jangan kena cemar.

”Konon, sampai sekarang, kepercayaan terhadap pengaruh air kali Kedhung Pucung itu masih hidup. Para pegawai pemerintah dan alat negara, tak berani mandi di kali itu, khawatir dipecat atau turun pangkat.

Selanjutnya Kanjeng Sunan Kalijaga mengajak Sunan Geseng berjalan ke arah barat. Sampai di suatu tempat, mereka berdua berhenti, lalu menetap. Di tempat itu Kanjeng Sunan Kalijaga memberikan wejangan yang mendalam tentang agama Islam kepada Sunan Geseng. Dengan tekunnya Sunan Geseng ngaji (mempelajari) ilmu yang dituangkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Tempat itu akhirnya berkembang menjadi sebuah desa, disebut Desa Ngajen***.



Sumber:

Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


* Bagelen dahulu termasuk dalam Karesidenan Kedu, Provinsi Jawa Tengah.

** Laku, celathu, tumindak artinya berlaku, berbicara dan bertindak baik.

*** Desa Ngajen saat ini berada di wilayah Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.