Welcome To Tepus Somorejo Bagelen

Friday, June 5, 2015

Selamat Datang Bulan Ramadhan



Marhaban ya Ramadhan, Selamat Datang Bulan Suci Ramadhan.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS al-Baqarah: 183).

Marhaban ya Ramadhan, selamat datang bulan suci Ramadhan. Kata itu yang saat ini banyak diserukan umat Islam di seluruh dunia. Di masjid-masjid, mushala, televisi, koran-koran, radio hingga mailing list dan phone sellular pribadi, ungkapan selamat datang tampil dengan berbagai ekspresi yang variatif.

Marhaban ya Ramadhan sepatutnya bukan sekadar ucapan selamat datang yang terlontar dari mulut belaka. Sebab bulan yang penuh berkah ini sepatutnya disambut suka cita dan kebahagian hati yang diekspresikan , tetapi kebahagian hati yang diekspresikan dengan perubahan tindakan dan perilaku.

Ibadah puasa di bulan suci ini yang diwajibkan untuk orang-orang beriman di seluruh dunia bukan sekadar ibadah. Ibadah puasa di bulan Ramadhan sangat berbeda dengan ibadah lain. Sebab, puasa adalah ibadah ‘rahasia’. Artinya, orang itu berpuasa atau tidak hanyalah orang berpuasa itu sendiri dan Allah saja yang mengetahuinya.

Banyak nilai yang kita petik dalam ketika menjalankan ibadah puasa. Tidak sedikit literature dan referensi kajian tentang makna puasa yang mengatakan bahwa beragam nilai yang kita petik dari ibadah puasa di bulan Ramadhan seperti nilai sosial, kesehatan, spiritual hingga kepribadian.

Nilai sosial, perdamaian, kemanusiaan, semangat gotong royong, solidaritas, kebersamaan, persahabatan dan semangat prularisme. Ada pula manfaat lahiriah seperti pemulihan kesehatan (terutama perncernaan dan metabolisme), peningkatan intelektual, kemesraan dan keharmonisan keluarga, kasih sayang, pengelolaan hawa nafsu dan penyempurnaan nilai kepribadian lainnya.

Ada lagi aspek spiritualitas: puasa untuk peningkatan kecerdasan spiritual, ketaqwaan dan penjernihan hati nurani dalam berdialog dengan al-Khaliq. Semuanya adalah nilai-nilai positif yang terkandung dalam puasa yang selayaknya tidak hanya kita pahami sebagai wacana yang memenuhi intelektualitas kita, namun menuntut implementasi dan penghayatan dalam setiap aspek kehidupan kita.

Yang juga penting dalam menyambut bulan Ramadhan tentunya adalah bagaimana kita merancang langkah strategis dalam mengisinya agar mampu memproduksi nilai-nilai positif dan hikmah yang dikandungnya. Jadi, bukan hanya melulu mikir menu untuk berbuka puasa dan sahur saja. Namun, kita sangat perlu menyusun menu rohani dan ibadah kita.

Kalau direnungkan, menu buka dan sahur bahkan sering lebih istemewa (mewah) dibanding dengan makanan keseharian kita. Tentunya, kita harus menyusun menu ibadah di bulan suci ini dengan kualitas yang lebih baik daripada hari-hari biasa. Dengan begitu kita benar-benar dapat merayakan kegemilangan bulan kemenangan ini dengan lebih mumpuni.

Ramadhan adalah bulan penyemangat. Bulan yang mengisi kembali baterai jiwa setiap muslim. Ramadhan sebagai 'Shahrul Ibadah' harus kita maknai dengan semangat pengamalan ibadah yang sempurna.

Ramadhan sebagai 'Shahrul Fath' (bulan kemenangan) harus kita maknai dengan memenangkan kebaikan atas segala keburukan.

Ramadhan sebagai "Shahrul Huda" (bulan petunjuk) harus kita implementasikan dengan semangat mengajak kepada jalan yang benar, kepada ajaran Al-Qur'an dan ajaran Nabi Muhammad Saw.

Ramadhan sebagai "Shahrus-Salam" harus kita maknai dengan mempromosikan perdamaian dan keteduhan.
Ramadhan sebagai 'Shahrul-Jihad" (bulan perjuangan) harus kita realisasikan dengan perjuangan menentang kedzaliman dan ketidakadilan di muka bumi ini.

Ramadhan sebagai "Shahrul Maghfirah" harus kita hiasi dengan meminta dan memberiakan ampunan. Ramadhan juga sebagai bulan kesabaran, maka kita harus melatih untuk sabar dalam menjalani hidup. Maksud dari sabar yang tertera dalam al-Quran adalah ‘gigih dan ulet’ seperti yang dimaksud dalam (QS. Ali Imran/3: 146).

Semoga dengan mempersiapkan diri kita secara baik dan merencanakan aktivitas dan ibadah-ibadah dengan ikhlas, serta berniat "liwajhillah wa limardlatillah", karena Allah dan karena mencari ridha Allah, kita mendapatkan kedua kebahagiaan tersebut, yaitu "sa'adatud-daarain" kebahagiaan dunia dan akherat. Semoga kita bisa mengisi Ramadhan tidak hanya dengan kuantitas harinya, namun lebih dari pada itu kita juga memperhatikan kualitas puasa kita.


Sunday, May 31, 2015

Tradisi Ruwahan Masyarakat Jawa Via Wali Songo

     Ruwahan berasal dari kata “Ruwah” merupakan bulan urutan ke delapan, dan disebut dengan bulan Sya’ban tahun Hijriyyah. Kata “ruwah”sendiri memiliki akar kata “arwah”, atau roh para leluhur dan nenek moyang. Konon dari arti kata arwah inilah bulan Ruwah dijadikan sebagai bulan untuk mengenang para leluhur.

     Ruwahan dilakukan sepuluh hari sebelum bulan puasa (Ramadhan). Pada tradisi ini sejumlah acara digelar menurut tradisi dan adat di setiap masing-masing daerah atau wilayah. Acara dimulai dari acara nisfu syaban, bersih (bersih pemakaman) yang diiringi slametan kecil lalu kenduren di malam hari.

     Selang beberapa harinya dilakukan nyadran, hingga berakhir pada acara padusan tepat di penghujung hari menjelang puasa.

     Tradisi ini pada intinya melambangkan kesucian dan rasa sukacita memasuki ibadah dibulan puasa yang merupakan bentuk iman kesolehan individual dan kolektif.

     Nisfu sya’ban dilakukan pada malam ke-15 pada bulan sya’ban. Rangkaian acaranya berupa membaca surah yasin, sholat sunah berjamaah di masjid kemudian dilanjutkan membaca doa nisfu sya’ban bersama-sama dan diakhiri dengan makan bersama (ambengan). Kegiatan ini ditujukan untuk rasa syukur kepada Allah SWT sekaligus salah satu bentuk penyucian diri sebelum masuk ke bulan suci Romadhon.

     Adapun acara bersih kubur, slametan, hingga kenduri serta megengan (kirim-kirim hantaran makanan) adalah manifestasi dari praktik doa bagi semua keluarga sanak saudaranya yang masih hidup dengan saling bersilaturahmi, saling memaafkan dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasa dengan rasa yang suci penuh suka cita menjadi kesadaran orang Islam Jawa.

     Biasanya isi hantaran tradisi megengan di Jawa tidak meninggalkan tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan apem. Makna dari ketiga makanan itu adalah:
ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi, kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan barokah penuh kemanisan dan apem berarti jika ada yang salah maka sekiranya bisa saling memaafkan.

     Seperti yang sudah sering dijelaskan di artikel-artikel lain, ketan, kolak, dan apem memperoleh makna dengan mengaitkan nama tersebut dengan suatu kata dalam bahasa Arab. Ketan dengan kata ‘Khata-an’ yang berarti ‘kesalahan’. Secara filosofis, ini bermakna bahwa manusia dituntut agar ingat pada perbuatan salah, yang berawal dari diri sendiri, dan kemudian diharapkan agar terhindar dari kesalahan yang sama.

     Kolak dengan kata ‘Kholaqo’ atau sering juga dengan kata 'kholiq' atau 'khaliq'. Artinya adalah ‘mencipta’. Dari sini, muncul harapan agar pelaku (yang membuat dan yang memakan) dapat semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Ini dalam rangka mendoakan orang yang telah meninggal dan berada di alam lain.

Sementara apem dengan kata ‘Afwun’ yang berarti ‘permintaan maaf’ atau ‘ampunan’. Tak hanya meminta maaf, apem ini juga dimaknai sebagai simbol agar manusia juga dapat mudah memaafkan kesalahan orang lain.

     Jangan heran dulu tradisi ruwahan juga mengenal Mudik Ruwahan. Sementara itu, pasar-pasar kagetan di bulan Ruwah ini biasanya hanya berselang satu minggu, pada mulanya pasar kagetan ini utamanya diperuntukkan untuk orang agar dapat membeli bahan-bahan kebutuhan selama awal-awal minggu di bulan puasa.

     Mudiknya orang Jawa untuk ruwahan tak ubahnya sedang mereplika kisah Nabi Muhammad ketika beliau dan para sahabatnya hijrah ke Yatsrib atau Madinah, yakni mudik untuk melakukan tiga hal yang dibangun untuk mengukuhkan iman keislaman yakni mendirikan masjid, pasar, dan mengikat tali persaudaraan.

     Hal pertama yang dilakukan oleh Rosul adalah membangun masjid, ini dimaknai dan dipraktikkan oleh orang Jawa dengan mudik untuk nyadran atau nyekar biasanya setelah shalat dhuhur dan slametan bersama di langgar atau masjid dan atau melaksanakan kenduren setelah shalat maghrib di masjid setempat.
Dengan demikian acara ruwahan adalah memakmurkan masjid, meningkatkan kualitas sujud syukurnya pada Allah SWT.

     Yang kedua ritual slametan, kenduren dan megengan di bulan Ruwah ini juga telah membangun pasar perekonomian setempat, kegiatan ini mendistribusikan rizki dari perkotaan ke kampung-kampung di Jawa.

     Yang terakhir tradisi ruwahan itu sendiri telah memperat rasa persaudaraan antara kaum mereka yang di kampung (Anshar) dan mereka yang mudik (Muhajirin). Sebuah tradisi yang akan diulang kembali oleh orang-orang Islam Jawa saat menjelang akhir ibadah puasa Romadhon sampai awal bulan Syawal.

     Nyadran adalah ziarah kubur untuk mengingatkan manusia kepada asal-usulnya (sangkan paraning dumadi) yaitu para leluhur. Nyadran di awali dengan membersihkan makam dan sekitarnya dari rerumputan liar dan sampah lalu membacakan tahlil dan yasin berdoa pada Tuhan agar mereka yang telah tiada senantiasa mendapat rahmat Ampunan dari Gusti Allah SWT.

     Nyadran sendiri berasal dari kata “sradha”, yang merupakan tradisi yang diawali oleh Ratu Tribuana Tunggadewi, raja ketiga Majapahit. Pada jaman itu Kanjeng Ratu ingin melakukan doa kepada sang ibunda Ratu Gayatri, dan roh nenek moyangnya yang telah diperabukan di Candi Jabo. Untuk keperluan itu dipersiapkanlah aneka rupa sajian untuk didermakan kepada para dewa. Sepeninggal Ratu Tribuana Tunggadewi, tradisi ini dilanjutkan juga oleh Prabu Hayam Wuruk.

     Di masa penyebaran agama islam oleh Wali Songo, tradisi tersebut kemudian diadopsi menjadi upacara nyadran karena bertujuan untuk mendoakan orang tua di alam barzah. Sebagaimana disebutkan dalam berbagai hadist, bahwasanya ketika seseorang telah meninggal dunia dan berada di alam barzah, maka semua amal kebaikan di dunia menjadi terputus kecuali tiga hal, yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang sholeh. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban anak dan cucu untuk senantiasa mendoakan arwah leluhurnya yang telah meninggal. Hanya saja sajian yang dibuat tidak lagi diperuntukkan bagi para dewa, tetapi sebagai sarana sodakoh kepada kaum fakir miskin.

     Pada acara nyadran, berbagai macam bunga ditaburkan di atas makam orang-orang yang kita cintai, oleh karena itu nyadran juga disebut nyekar ( sekar = bunga). Keindahan dan keharuman bunga menjadi simbol untuk selalu mengenang semua yang indah dan yang baik dari mereka yang telah mendahului. Dengan demikian, hal itu memberikan semangat bagi yang masih hidup untuk terus berlomba-lomba demi kebaikan (fastabaqul khoirat).
     Tradisi ruwahan ini ditutup dengan acara padusan biasanya dilakukan setelah Dhuhur atau Ashar untuk membersihkan diri lahir batin memasuki bulan Romadhon.

Friday, May 22, 2015

Sunan Geseng Penderes Dari Bagelen

Ilustrasi foto penderes nira
NDERES yang masyarakat Dusun Tepus juga menyebutnya Ndewan adalah pekerjaan menyadap manggar muda (calon buah kelapa) yang masih tertutup mancung untuk diambil air getahnya. Mancung dipotong dan air yang keluar ditampung dalam bumbung. Air hasil sadapan disebut legen, bahan baku gula kelapa.

Menurut cerita yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, Nderes diperkenalkan oleh Sunan Geseng. Ulama besar yang senantiasa berbaur dengan masyarakat tersebut dikenal sebagai murid Sunan Kalijaga. Sehari-harinya Sunan Geseng melakukan pekerjaan Nderes pohon kelapa.

Ternyata dalam pekerjaan nderes berisi pelajaran hidup yang sangat tinggi. Padahal di kalangan masyarakat pekerjaan nderes yang identik dengan pekerjaan golek uwuh (mencari sampah untuk bahan bakar mengolah gula jawa) dikonotasikan sebagai pekerjaan rendah. Seperti apa pelajaran yang disampaikan Sunan Geseng tersebut ;

Pada zaman dahulu, ada seorang wali yang terkenal sangat sakti, namanya ialah Kanjeng Sunan Kalijaga. Dalam usahanya untuk menyiarkan agama Islam, Kanjeng Sunan Kalijaga senantiasa berkelana ke berbagai tempat di seluruh tanah Jawa. Pada suatu hari, perjalanan Kanjeng Sunan Kalijaga sampai di wilayah Bagelen *.

Waktu itu, sebagian besar penduduk Bagelen bermata pencaharian sebagai tukang “nderes” (penyadap nira). Saat Kanjeng Sunan Kalijaga tiba di Bagelen, ia menjumpai seseorang yang akan nderes. Orang itu membawa tabung bambu sebagai wadah legen/nira (bumbung wadah legen) yang diikatkan pada punggungnya.

Pada saat akan memanjat pohon kelapa, orang itu mengucapkan mantra tetembangan :

“Klonthang-klanthung, wong nderes buntute bumbung, koe gelem opo ora” (klontang-klanthung, orang nderes ekornya bumbung, kamu mau apa tidak).

Mendengar itu, bertanyalah Kanjeng Sunan Kalijaga:

“Ki sanak, mengapa waktu akan kamu memanjat mengucapkan kalimat itu?”

“Yang saya ucapkan itu bukan kalimat sembarangan,” jawab yang ditanya. “Kalimat itu mantranya tukang nderes seperti saya ini, bila ingin hasil yang banyak.”

“Caramu itu kurang tepat, ki sanak,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga.

Mendengar itu, tukang nderes tersebut nampak tersinggung, lalu katanya:

“Ki sanak rupanya belum tahu. Aku ini Kyai Cokrojoyo. Semua orang di Bagelen ini tahu siapa aku. Aku menjadi tukang nderes ini sejak kecil. Dan pekerjaan ini adalah warisan dari nenek moyangku. Sejak nenek moyangku dahulu, mantra-mantra tukang nderes ya seperti itu. Mengapa ki sanak mau menggurui aku?”

“Maafkan aku, Kyai Cokrojoyo,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga. “Bukan maksudku akan menggurui Kyai. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku mempunyai mantra yang akan dapat menelorkan hasil lebih banyak lagi.”

“Maksud ki sanak, mantra itu dapat menghasilkan legen lebih banyak lagi?” tanya Kyai Cokrojoyo.

“Bukannya menghasilkan legen yang banyak, melainkan meskipun sedikit, tetapi dapat untuk menghidupi seluruh keluarga selama satu tahun,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga.

“Omong kosong,” kata Kyai Cokrojoyo dengan perasaan jengkel.

“Kalau aku boleh membuktikan, mungkin ki sanak akan mempercayai omonganku,” Kanjeng Sunan Kalijaga menjelaskan.

“Silakan ki sanak membuktikannya,” kata Kyai Cokrojoyo.

“Bolehkah aku ikut memasak legen itu?” tanya Kanjeng Sunan.

“Silakan,” jawab Kyai Cokrojoyo.

Kanjeng Sunan Kalijaga lalu mengikuti Kyai Cokrojoyo pulang. Sesampai di rumah Kyai Cokrojoyo, mereka berdua mulai memasak legen, lalu di cetak dengan tempurung kelapa, untuk dijadikan gula. Kanjeng Sunan mencetak satu tangkep, lalu diserahkan kepada Kyai Cokrojoyo.

“Kyai, sekarang aku akan melanjutkan perjalanan. Pesanku: gula satu tangkep ini jangan dibuka, sebelum aku keluar dari desa ini.

” Setelah berkata demikian, Kanjeng Sunan Kalijaga lalu meninggalkan rumah Kyai Cokrojoyo.

Beberapa saat lamanya setelah Kanjeng Sunan Kalijaga pergi, barulah Kyai Cokrojoyo membuka cetakan gula yang diserahkan oleh tamunya tadi. Betapa terkejut Kyai Cokrojoyo, setelah tahu isi cetakan itu, bukanlah gula kelapa, melainkan emas.

Kini tahulah Kyai Cokrojoyo, bahwa tamunya tadi bukannya orang sembarangan, melainkan orang yang memiliki kesaktian luar biasa.

“Kalau bukan orang sakti, tidak mungkin dia memiliki kemampuan luar biasa seperti itu,” begitu pikir Kyai Cokrojoyo. Cepat-cepat dia berlari keluar dari rumahnya, mengejar tamunya yang baru saja berangkat. Emas sebesar satu tangkep gula kelapa, ditinggalkannya begitu saja.

Setelah berhasil mengejar, Kyai Cokrojoyo pun berkata: “Kalau saya diperbolehkan mengetahui bagaimana bunyi mantra itu, maka hidup matiku kuserahkan kepada Kanjeng Sunan,” begitu kata Kyai Cokrojoyo setelah berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kalijaga.

“Mantra yang mana?” sambung Kanjeng Sunan.

“Mantra untuk membuat gula berubah menjadi emas,” jawab Kyai Cokrojoyo.

“Untuk mendapat mantra itu, imbalannya sangat besar,” kata Kanjeng Sunan.

“Apakah imbalannya, Kanjeng Sunan?” tanya Kyai Cokrojoyo.

“Laku, celathu, tumindak **,” jawab Kanjeng Sunan Kalijaga. “Kalau kamu ingin, bergurulah kepadaku. Ikutilah segala tingkah lakuku.

”Singkat cerita, sejak saat itu, Kyai Cokrojoyo meninggalkan tempat tinggalnya di Bagelen, meninggalkan segala barang miliknya, lalu mengikuti Kanjeng Sunan Kalijaga berkelana. Selama berkelana itu, Kanjeng Sunan Kalijaga mengajarkan ajaran agama Islam kepada Kyai Cokrojoyo.

Pada suatu hari, berkatalah Kanjeng Sunan Kalijaga: “Anakku Cokrojoyo. Aku akan bersembahyang ke Mekkah. Tongkatku ini kutinggalkan di sini,” sambil berkata begitu, Kanjeng Sunan Kalijaga menancapkan tongkat bambunya ke tanah. “Jagalah tongkatku ini selama aku pergi. Jangan kau meninggalkan tempat ini sebelum mendapat perintahku.”

“Sendiko dhawuh,” kata Kyai Cokrojoyo.

Kanjeng Sunan pergi, sedang Cokrojoyo dengan setianya melaksanakan pesan Kanjeng Sunan. Dia duduk bersila di dekat tongkat yang ditancapkan di tanah itu.

Ternyata kepergian Kanjeng Sunan Kalijaga itu lama sekali, sehingga pada saat kembali lagi di tempat beliau menancapkan tongkat, keadaan telah berubah. Tempat itu telah ditumbuhi “dhapuran pring ori” (sejenis pohon bambu) yang rimbun sekali. Kyai Cokrojoyo duduk bersila dengan tenangnya di tengah rumpun bambu itu.

“Mengapa kau tetap di situ?” tanya Kanjeng Sunan.

“Mematuhi pesan Kanjeng Sunan, saya tidak pergi meninggalkan tempat ini sebelum mendapat perintah.”

“Kalau begitu, kuperintahkan, keluarlah dari situ,” kata Kanjeng Sunan.

“Maaf, Kanjeng Sunan,” jawab Kyai Cokrojoyo. “Tanpa bantuan Kanjeng Sunan, tak mungkin saya dapat keluar dari rumpun bambu yang penuh duri ini.”

“Bagaimana kalau ku bakar dhapuran bambu ini?” tanya Kanjeng Sunan.

“Silakan, Kanjeng Sunan,” kata Kyai Cokrojoyo tegas.

“Kau tidak takut terbakar?” tanya Kanjeng Sunan Kalijaga.

“Mematuhi perintah Kanjeng Sunan, apapun yang terjadi, hamba tidak takut menghadapinya,” kata Kyai Cokrojoyo.

Kanjeng Sunan lalu membakar rumpun bambu itu. Api berkobar memakan habis rumpun bambu itu, dan Kyai Cokrojoyo dapat keluar dengan selamat, hanya kulitnya menjadi hitam karena hangus.

“Sekarang ujianmu sudah lulus, maka kamu kuberi sebutan Sunan,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga. “Dan karena tubuhmu geseng (hangus), maka kamu kunamakan Geseng. Sejak saat itu, Kyai Cokrojoyo dikenal dengan nama Sunan Geseng.

“Karena api yang mulad-mulad (berkobar-kobar) yang dapat membebaskan kamu dari kungkungan rumpun bambu, maka tempat ini kunamakan Muladan”.

Dari tempat itu, Sunan Geseng lalu diajak berjalan ke arah timur. Di suatu tempat, Kanjeng Sunan Kalijaga lalu menancapkan tongkatnya. Setelah tongkat itu dicabut, timbullah sumber air dan menjadi sendang. Sunan Geseng disuruh mandi di sendang itu. Seketika itu pula kotoran hangus pada tubuh Sunan Geseng dapat bersih terhapus, hanyut di bawa aliran air, sampai di sungai yang dinamakan Kedhung Pucung, dan sendang itu dinamakan Sendang Banyu Urip.

“Jebeng,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga. “Kali Kedhung Pucung ini tempat tertampungnya noda kotoran atau cemar yang semula melekat pada tubuhmu. Para punggawa pemerintah jangan mandi di sungai ini, agar jangan kena cemar.

”Konon, sampai sekarang, kepercayaan terhadap pengaruh air kali Kedhung Pucung itu masih hidup. Para pegawai pemerintah dan alat negara, tak berani mandi di kali itu, khawatir dipecat atau turun pangkat.

Selanjutnya Kanjeng Sunan Kalijaga mengajak Sunan Geseng berjalan ke arah barat. Sampai di suatu tempat, mereka berdua berhenti, lalu menetap. Di tempat itu Kanjeng Sunan Kalijaga memberikan wejangan yang mendalam tentang agama Islam kepada Sunan Geseng. Dengan tekunnya Sunan Geseng ngaji (mempelajari) ilmu yang dituangkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Tempat itu akhirnya berkembang menjadi sebuah desa, disebut Desa Ngajen***.



Sumber:

Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


* Bagelen dahulu termasuk dalam Karesidenan Kedu, Provinsi Jawa Tengah.

** Laku, celathu, tumindak artinya berlaku, berbicara dan bertindak baik.

*** Desa Ngajen saat ini berada di wilayah Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.