Dalam acara Silaturahmi Nasional Pemerintahan Desa se-Indonesia yang digelar di Stadion Tenis Indoor Gelora Bung Karno pada bulan april yang lalu, yang dihadiri oleh bapak Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia, Beliau menyampaikan pesan " bahwa membangun desa-desa yang ada diseluruh Indonesia, sama artinya dengan membangun Negara ini ".
Ratusan trilyun rupiah yang telah digulirkan pemerintah pusat untuk pembangunan desa selama hampir 5 tahun terakhir merupakan wujud kehadiran negara dalam pembangunan desa dan masyarakatnya.
Pak Presiden juga berkata, " Desa itu selalu ada dalam hati dan pikirian saya. Bukan karena saya berasal dari desa, bukan itu saja. Tetapi menurut saya, membangun desa artinya ya membangun Indonesia ". (disambut tawa dan tepuk tangan meriah dari peserta yang hadir).
Hingga tahun 2019 Pemerintah pusat sudah menganggarkan ratusan trilyun rupiah untuk desa-desa se-Indonesia yang jumlahnya mencapai 79.900 desa. Anggaran itu dimaksudkan agar desa memiliki sumber daya yang memadai untuk membangun sendiri wilayahnya.
Pak Presiden juga mengatakan, menurutnya kunci sukses pembangunan desa yang juga berarti kesuksesan membangun negara ada 2 (dua).
Pertama kepemimpinan yang benar-benar memahami tata kelola pemerintahan yang ada dibawahnya sekaligus membawanya ke arah lahirnya inovasi dan kemajuan. Dan yang kedua, kepemimpinan yang peduli terhadap pengembangan sumber daya manusia diseluruh wilayah Indonesia tak terkecuali dipedesaan.
" Kalau yang lalu terkonsentrasi pada insfrastruktur kedepan mulai sedikit bergeser ke hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi dan inovasi ", Imbuhnya.
Pak presiden juga mengingatkan agar potensi desa-desa yang sangat banyak harus dapat didorong untuk maju sehingga mampu meningkatkan ekonomi masyarakat pedesaan.
" Produk-produk lokal unggulan yang ada didesa harus dikembangkan agar menjadi produk berkwalitas dan daya saing sehingga bisa dijual dikota, ditingkat nasional ", kata pak presiden.
Beliau yakin kalau produk-produk lokal yang ada di desa-desa memiliki peluang besar untuk dapat menembus pasar nasional. Namun produk-produk tersebut harus didukung dengan kualitas pengemasan dan pemasaran yang baik.
" Dorong agar packaging-nya dengan baik. Angkat menjadi produk nasional lewat yang namanya online marketplace sehingga bisa dikenalkan ditingkat nasional. Kalau sudah dikenalkan ditingkat nasional, langkah mudah untuk menuju ke global marketplace ". Pungkasnya.
Salam dari desa Somorejo Bagelen Purworejo.
Showing posts with label kecamatan Bagelen. Show all posts
Showing posts with label kecamatan Bagelen. Show all posts
Sunday, May 5, 2019
Wednesday, August 17, 2016
Jayalah Desaku Jayalah Negeriku
Memperingati hari kemerdekaan setiap tahunnya memang tidak sebanding dengan perjuangan para pahlawan untuk kemerdekaan negara ini, tetapi setidaknya masyarakat tidak lupa dengan sejarah perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan negeri ini dari para penjajah.
Seperti kata Bung Karno dalam pidatonya ;
" Jangan pernah sekalipun meninggalkan sejarah."
Karena dengan tidak melupakan sejarah kita bisa tetap menghargai dan menghormati segala perjuangan para pahlawan itu.
Kini, kita sebagai generasi berikutnya harus terus semangat untuk melanjutkan tugas yang belum diselesaikan oleh para pendahulu kita yaitu mengisi kemerdekaan dengan membangun negeri ini sebaik mungkin.
" Kemerdekaan hanyalah didapat dan dimiliki oleh bangsa yang mempunyai semangat berkobar-kobar dan tekad Merdeka, merdeka atau mati." (Bung Karno).
MERDEKA...
Tuesday, October 20, 2015
Kilas Sejarah Bagelen
Tanah bagelen merupakan suatu kawasan di selatan Jawa Tengah menurut tata negara Mataram masa Sultan Agung, ( FA Sutjipta 1963 ) yang disebut tanah bagelen terdiri dua bagian dalam satu kesatuan yaitu wilayah bagelen di sebelah barat sungai progo sampai timur sungai bogowonto disebut “Tumbak Anyar” dan yang kedua wilayah di barat sungai Bogowonto sampai Timur Sungai Donan ( Cilacap ) yang disebut “Urut Sewu” . dua wilayah Tumbak Anyar dan Urut Sewu itulah yang dinamakan Tanah Bagelen yang melegenda.
Wilayah Bagelen sekarang sudah terpecah menjadi beberapa Kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Purworejo ( gabungan kadipaten Kutoarjo dan Brengkelan ), Kabupaten Kebumen ( gabungan kadipaten Ambal, Gombong, Karanganyar, dan Kutowinangun ), Kabupaten Cilacap, ditambah Kabupaten Wonosobo, sisa dari wilayah yang dahulu dikenal sebagai Urut Sewu atau Ledok.
Nama Bagelen menurut Profesor Purbatjaraka (1954) seorang ahli sejarah Kuno, berasal dari kata pagaluhan, wilayah yang masuk dalam kekuasaan kerajaan Galuh.
Berdasarkan penelitian Arkheologi Yogyakarta, ( Prayitno Hadi S, 2007 ) ternyata di pusat wilayah Bagelen tepatnya di Desa Bagelen dan sekitarnya yang masuk dalam Kabupaten Purworejo, sekurang-kurangnya terdapat sekitar 70 buah situs Megalitik dan Puluhan Situs Klasik Hindhu-Budha.
Salah satu tempat yang menarik adalah Desa Watukuro kecamatan Purwodadi, Purworejo, lokasinya di muara sungai Bogowonto. Menurut Profesor DR. N J. Khrom (1950) seorang ahli Purbakala di Desa ini dahulu terdapat tempat untuk Perabuan Jenazah-jenazah Raja-Raja Mataram Hindhu, demikian juga asal usul Raja Mataram Hindhu terbesar yaitu Diah Balitung. Sayang situs peninggalan purbakala di desa Watukuro telah hilang akibat adanya sistem tanam paksa pada abad 19.
Peradaban Jawa kuno menurut Supratikno Rahardjo (2001) bisa dibagi dalam dua periode utama , pertama periode Jawa Tengah sekitar Abad 8 – 10 Masehi, periode berikutnya periode setelah pusat pemerintahan pindah ke jawa timur. Menurut Profesor Brandes (1889) di Pulau Jawa sebelum masuknya Pengaruh Hindhu, berdasarkan bukti dan data-data Prasasti telah memiliki paling tidak 10 macam kepandaian khusus yakni pertunjukan wayang, musik gamelan, seni syair, pengrajin logam, sistem mata uang untuk perdagangan, navigasi, irigasi, ilmu falak, dan sistem pemerintahan yang teratur.
Bagelen memiliki nilai dan karismatik sebagai sebuah wilayah. Wilayah yang luas -terdapat 20 kecamatan jika dibandingkan dengan kondisi administratif saat ini- dan terletak di Jawa Tengah bagian selatan (tepatnya di Yogyakarta) itu memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah tanah air. Operasi militer, perlawanan terhadap Kompeni, pembangunan candi (Prambanan dan Borobudur) merupakan beberapa bukti pentingnya wilayah tersebut.
Bukti-bukti kebesaran Bagelen tercatat sebagai berikut:
1. Di era Majapahit, Raja Hayam Wuruk pernah memerintahkan untuk menyelesaikan pembangunan candi makam dan bangunan para leluhur, menjaga serta merawatnya dengan serius (Negarakertagama);
2. Di era Demak, Sunan Kalijaga (anggota Wali Songo) mengunjungi dan menyebarkan Agama Islam di Bagelen serta mengangkat muridnya, Sunan Geseng untuk berdakwah di wilayah Bagelen;
3. Di awal Dinasti Mataram, Panembahan Senopati menggalang persahabatan dengan para kenthol (tokoh-tokoh) Bagelen untuk menopang kekuasaannya.
4. Ditemukannya bukti-bukti sejarah, seperti Lingga (52 buah), Yoni (13), stupa/Budhis (2), Megalith (22), Guci (4), Arca (38), Lumpang (24), Candi Batu atau berkasnya (8), Umpak Batu (16), Prasasti (3), Batu Bata (8), temuan lain (17), dan Umpak Masjid (20).
Tapi pada akhirnya, Bagelen sebagai sebuah kawasan yang solid akhirnya terpecah seiring dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) yang didesain oleh Kompeni Belanda untuk memecah Mataram menjadi dua kerajaan; Kasunanan Surakarta (Solo) dengan Sunan Paku Buwono III sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Yogyakarta dengan Sultan Hamengku Buwono I sebagai rajanya.
Sebagian masuk Solo, dan sisanya masuk Yogyakarta. Secara peradaban, Bagelen sudah terbelah. Abad XIX (1825-1830), Bagelen ikut dalam Perang Jawa. 3000 prajurit Bagelen di bawah kendali Pangeran Ontowiryo menyokong perjuangan Pangeran Diponegoro yang terpusat di Tegalrejo, Magelang. Saking kuatnya perlawanan Bagelen, Kompeni Belanda sampai harus menggunakan taktik Benteng Stelsel, dengan mambangun 25 buah benteng di kawasan Bagelen.
Usaha Belanda untuk semakin memperlemah Bagelen dilanjutkan di tahun 1901. Tanggal 1 Agustus, Bagelen dihapus secara karesidenan dan dilebur ke dalam Karesidenan Kedu. Selanjutnya Bagelen hanya dijadikan sebagai sebuah kecamatan saja. Kemudian Belanda juga membangun jalur transportasi Purworejo-Magelang untuk memudahkan pengawasan. Belanda juga menempatkan batalion militer reguler dengan dibantu serdadu negro (Ambon?). Kebijakan ini sangat nyata untuk menghilangkan jati diri Bagelen sebagai sebuah kawasan yang sangat berakar. Buku ringkas ini merupakan upaya penulis untuk melakukan rekonstruksi suatu aset nasional yang memiliki muatan lokal. Berikut penelusurannya:
LATAR BELAKANG MATARAM KUNO
Di Jawa Tengah abad VIII – X, ada kerajaan besar, bernama Medang yang terletak di Poh pitu. Kerajaan ini luas, dikenal subur dan makmur. Pusat kekuasaan dibagi menjadi dua; Pertama, negara yang bersifat internasional dengan beragama Budha, diperintah oleh Dinasti Syailendra. Kedua, negara yang diperintah oleh sepupunya yang beragama Syiwa. Kedua kerajaan ini berada dalam satu istana, dan disebut Kerajaan Medang i Bhumi Mataram. Berdasarkan prasasti berbahasa Melayu Kuno (Desa Sojomerto, Batang) memperkuat pendapat sejarawan Purbacaraka, bahwa hanya ada satu dinasti saja di Jawa Tengah, yakni Syailendra. Raja Sanjaya yang menganut Syiwa di kemudian hari menganjurkan putranya, Rakai Panangkaran untuk memeluk Budha. Menurut catatan Boechori, epigraf dan arkeolog, Syailendra merupakan penduduk asli Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh prasasti Wanua Tengah III (Temanggung) yang memuat silsilah raja-raja Mataram lengkap dengan tahunnya.
ASAL MULA RAJA SANJAYA DAN TANAH BAGELEN
Berdasarkan prasasti Canggal (Sleman) menjelaskan: -ada sebuah pulau bernama Yawadwipa -negeri yang kaya raya akan padi, jewawut, dan tambang emas. -raja pertamanya : Raja Sanna. -setelah dia mangkat, diganti oleh ponakannya: Raja Sri Sanjaya Menurut catatan seorang sejarawan, Raja Sanjaya mendirikan kerajaan di Bagelen, satu abad kemudian dipindah ke Wonosobo. Sanjaya adalah keturunan raka-raka yang bergelar Syailendra, yang bermakna “Raja Gunung“, “Tuan yang Datang dari Gunung“. Atau, “Tuan yang Datang dari Kahyangan“, karena gunung menurut kepercayaan merupakan tempatnya para dewata.
Raja Sanjaya dikenal sebagai ahli kitab-kitab suci dan keprajuritan. Armada darat dan lautnya sangat kuat dan besar, sehingga dihormati oleh India, Irian, Tiongkok, hingga Afrika. Dia berhasil menaklukkan Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kerajaan Melayu, Kemis (Kamboja), Keling, Barus, dan Sriwijaya, dan Tiongkok pun diperanginya (from “Cerita Parahiyangan“).
Area Kerajaan Mataram Kuno (Bagelen) berbentuk segitiga. Ledok di bagian utara, dikelilingi Pegunungan Menoreh di sisi Barat dan Pegunungan Kendeng di utara dan basisnya di pantai selatan dengan puncaknya Gunung Perahu (Dieng), di lembah Sungai Bagawanta (Sungai Watukura, kitab sejarah Dinasti Tang Kuno 618-906). Catatan dinasti Tiongkok tersebut diperkuat juga oleh Van der Meulen yang menggunakan kitab “Cerita Parahiyangan” dan “Babad Tanah Jawi“.
Bagelen merupakan hasil proses nama yang final. Bermula Galuh/Galih, menjadi Pegaluhan/Pegalihan, menjadi Medanggele, Pagelen, lalu jadilah Bagelen. Dalam prasasti Tuk Mas (Desa Dakawu, Grabag-Magelang) yang menyebut adanya sungai yang seperti sungai Gangga, maka Medang i bhumi Mataram bermakna “Medang yang terletak di suatu negeri yang menyerupai Ibu” (lembah Sungai Gangga). Dieng diasumsikan sebagai Himalaya, Perpaduan Sungai Elo dan Progo disamakan sebagai Sungai Gangga, dan pegunungan Menoreh disamakan sebagai Pegunungan Widiya.
SILSILAH RAJA-RAJA MATARAM KUNO
Pada jaman Mataram Hindhu, tersebutlah seorang raja yang bijaksana yang bernama Prabu Sowelocolo. Ia memiliki enam orang putra, masing-masing bernama Sri Moho Punggung, Sendang Garbo, Sarungkolo, Tunggul Ametung, Sri Getayu, dan Sri Panuhun.
Sri Panuhun memiliki seorang cucu, anak dari Joko Panuhun atau Joko Pramono yang bernama Roro Dilah atau Roro Wetan yang kemudian dikenal dengan sebutan Nyai Bagelen. Roro Dilah juga dapat disebut dengan Roro Wetan karena kedudukannya di daerah timur. Sri Getayu memiliki cucu dari putra Kayu Mutu bernama Awu-Awu Langit. Ia berkedudukan di Awu-Awu (Ngombol). Setelah dewasa, Roro Dilah menikah dengan Raden Awu-Awu Langit dan menetap di Hargopuro atau Hargorojo.
Dari pernikahan tersebut, Roro Dilah atau Roro Wetan dan Pangeran Awu-Awu Langit dianugrahi tiga orang putra, Bagus Gentha, Roro Pitrang dan Roro Taker.
Kesibukan Roro Wetan dan Awu-Awu Langit adalah bertani padi, ketan, dan kedelai, beternak sapi, ayam dan juga menenun. Konon karena tanahnya cocok untuk ditanami kedelai dan hasilnya melimpah maka wilayah tersebut dikenal dengan nama Medang Gelih atau Padelen dan sekarang disebut dengan Bagelen.
Roro Wetan atau Nyai Ageng Bagelen sosoknya tinggi besar dengan rambut terurai dan senang memakai kemben lurik. Beliau memiliki keistimewaan berupa kemampuan spiritualnya dan juga payudaranya yang sangat panjang sehingga ketika putra-putrinya ingin ngempeng, ia tinggal menyampirkan ke belakang.
Pada suatu ketika, Nyai Ageng Bagelen sedang asik menenun. Sebagaimana biasanya, ia menyampirkan payudaranya ke belakang supaya tidak mengganggu. Tidak disangka-sangka datang anak sapi menghampirinya, Nyai Ageng Bagelen mengira itu salah satu putra-putrinya yang ingin ngempeng. Tanpa menghiraukan kedatangan anak sapi tersebut ia terus asik menenun. Terkejutlah ia ketika menoleh, ternyata yang menyusu bukanlah anaknya tetapi anak sapi.
Kejadian tersebut membuat Nyai Ageng Bagelen merasa malu dan marah, sehingga menyebabkan pertengkaran dengan Raden Awu-Awu Langit. Dan akhirnya ia menyampaikan pesan untuk semua anak cucu beserta keturunannya, agar atau tidak boleh memelihara sapi.
Peristiwa yang memilukan atau menyedihkan juga terjadi kembali pada hari Selasa Wage. Pada waktu itu masih musim panen kedelai dan padi ketan hitam. Kedua putrinya Roro Pitrang dan Roro Taker masih senang bermain-main. Namun tidak sebagaimana biasanya, hingga sore hari kedua putri itu tidak kunjung pulang.
Selesai menenun Nyai Ageng Bagelen berusaha mencari. Karena tidak menemukannya, ia menanyakan kepada suaminya. Namun jawaban Raden Awu-Awu Langit sepertinya kurang mengenakan. Dengan perasaan marah dan jengkel dibongkar padi ketan hitam dan kedelai di dalam lumbung sehingga isinya berhamburan terlempar jauh hingga jatuh di desa Katesan dan Wingko Tinumpuk.
Betapa terkejutnya Nyai Ageng Bagelen ketika melihat kedua putri kesayangannya terbaring lemas pada lumbung padi tersebut. Setelah didekati ternyata mereka telah meninggal.
Semenjak peristiwa tersebut kehidupan Nyai Ageng Bagelen dengan Raden Awu-Awu Langit selalu diwarnai dengan pertengkaran. Akibatnya Raden Awu-Awu Langit memutuskan untuk pulang ke daerahnya, Awu-Awu, sedangkan Nyai Ageng Bagelen tetap tinggal di Bagelen untuk memerintah negeri.
Suatu ketika terdengar kabar bahwa Raden Awu-Awu Langit meninggal di desa Awu-Awu. Mendengar berita tersebut Nyai Ageng Bagelen merasa sedih dan berpesan kepada Raden Bagus Gentha bahwa anak cucu keturunannya dilarang atau berpantangan untuk bepergian atau jual beli, mengadakan hajad pada hari pasaran Wage, karena pada hari itu saat jatuhnya bencana dan merupakan hari yang naas. Selain itu orang-orang asli Bagelen juga berpantangan untuk menanam kedelai, memelihara lembu, memakai pakaian kain lurik, kebaya gadung melati dan kemben bangau tulis.
Setelah Nyai Ageng Bagelen menyampaikan pesan tersebut kepada Raden Bagus Gentha putranya, ia kemudian masuk ke kamarnya dan lemudian menghilang tanpa meninggalkan bekas atau moksa.
Selain itu Nyai Ageng Bagelen juga mengajarkan kepada anak cucu keturunannya agar melakukan tiga hal, yaitu: bersikap jujur, berpenampilan sederhana dan lebih baik memberi dari pada meminta.
Sepeninggalan Nyai Ageng Bagelen, kedudukan dan pemerintahan Bagelen digantikan oleh Raden Bagus Gentha.
Wilayah Bagelen sekarang sudah terpecah menjadi beberapa Kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Purworejo ( gabungan kadipaten Kutoarjo dan Brengkelan ), Kabupaten Kebumen ( gabungan kadipaten Ambal, Gombong, Karanganyar, dan Kutowinangun ), Kabupaten Cilacap, ditambah Kabupaten Wonosobo, sisa dari wilayah yang dahulu dikenal sebagai Urut Sewu atau Ledok.
Nama Bagelen menurut Profesor Purbatjaraka (1954) seorang ahli sejarah Kuno, berasal dari kata pagaluhan, wilayah yang masuk dalam kekuasaan kerajaan Galuh.
Berdasarkan penelitian Arkheologi Yogyakarta, ( Prayitno Hadi S, 2007 ) ternyata di pusat wilayah Bagelen tepatnya di Desa Bagelen dan sekitarnya yang masuk dalam Kabupaten Purworejo, sekurang-kurangnya terdapat sekitar 70 buah situs Megalitik dan Puluhan Situs Klasik Hindhu-Budha.
Salah satu tempat yang menarik adalah Desa Watukuro kecamatan Purwodadi, Purworejo, lokasinya di muara sungai Bogowonto. Menurut Profesor DR. N J. Khrom (1950) seorang ahli Purbakala di Desa ini dahulu terdapat tempat untuk Perabuan Jenazah-jenazah Raja-Raja Mataram Hindhu, demikian juga asal usul Raja Mataram Hindhu terbesar yaitu Diah Balitung. Sayang situs peninggalan purbakala di desa Watukuro telah hilang akibat adanya sistem tanam paksa pada abad 19.
Peradaban Jawa kuno menurut Supratikno Rahardjo (2001) bisa dibagi dalam dua periode utama , pertama periode Jawa Tengah sekitar Abad 8 – 10 Masehi, periode berikutnya periode setelah pusat pemerintahan pindah ke jawa timur. Menurut Profesor Brandes (1889) di Pulau Jawa sebelum masuknya Pengaruh Hindhu, berdasarkan bukti dan data-data Prasasti telah memiliki paling tidak 10 macam kepandaian khusus yakni pertunjukan wayang, musik gamelan, seni syair, pengrajin logam, sistem mata uang untuk perdagangan, navigasi, irigasi, ilmu falak, dan sistem pemerintahan yang teratur.
Bagelen memiliki nilai dan karismatik sebagai sebuah wilayah. Wilayah yang luas -terdapat 20 kecamatan jika dibandingkan dengan kondisi administratif saat ini- dan terletak di Jawa Tengah bagian selatan (tepatnya di Yogyakarta) itu memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah tanah air. Operasi militer, perlawanan terhadap Kompeni, pembangunan candi (Prambanan dan Borobudur) merupakan beberapa bukti pentingnya wilayah tersebut.
Bukti-bukti kebesaran Bagelen tercatat sebagai berikut:
1. Di era Majapahit, Raja Hayam Wuruk pernah memerintahkan untuk menyelesaikan pembangunan candi makam dan bangunan para leluhur, menjaga serta merawatnya dengan serius (Negarakertagama);
2. Di era Demak, Sunan Kalijaga (anggota Wali Songo) mengunjungi dan menyebarkan Agama Islam di Bagelen serta mengangkat muridnya, Sunan Geseng untuk berdakwah di wilayah Bagelen;
3. Di awal Dinasti Mataram, Panembahan Senopati menggalang persahabatan dengan para kenthol (tokoh-tokoh) Bagelen untuk menopang kekuasaannya.
4. Ditemukannya bukti-bukti sejarah, seperti Lingga (52 buah), Yoni (13), stupa/Budhis (2), Megalith (22), Guci (4), Arca (38), Lumpang (24), Candi Batu atau berkasnya (8), Umpak Batu (16), Prasasti (3), Batu Bata (8), temuan lain (17), dan Umpak Masjid (20).
Tapi pada akhirnya, Bagelen sebagai sebuah kawasan yang solid akhirnya terpecah seiring dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) yang didesain oleh Kompeni Belanda untuk memecah Mataram menjadi dua kerajaan; Kasunanan Surakarta (Solo) dengan Sunan Paku Buwono III sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Yogyakarta dengan Sultan Hamengku Buwono I sebagai rajanya.
Sebagian masuk Solo, dan sisanya masuk Yogyakarta. Secara peradaban, Bagelen sudah terbelah. Abad XIX (1825-1830), Bagelen ikut dalam Perang Jawa. 3000 prajurit Bagelen di bawah kendali Pangeran Ontowiryo menyokong perjuangan Pangeran Diponegoro yang terpusat di Tegalrejo, Magelang. Saking kuatnya perlawanan Bagelen, Kompeni Belanda sampai harus menggunakan taktik Benteng Stelsel, dengan mambangun 25 buah benteng di kawasan Bagelen.
Usaha Belanda untuk semakin memperlemah Bagelen dilanjutkan di tahun 1901. Tanggal 1 Agustus, Bagelen dihapus secara karesidenan dan dilebur ke dalam Karesidenan Kedu. Selanjutnya Bagelen hanya dijadikan sebagai sebuah kecamatan saja. Kemudian Belanda juga membangun jalur transportasi Purworejo-Magelang untuk memudahkan pengawasan. Belanda juga menempatkan batalion militer reguler dengan dibantu serdadu negro (Ambon?). Kebijakan ini sangat nyata untuk menghilangkan jati diri Bagelen sebagai sebuah kawasan yang sangat berakar. Buku ringkas ini merupakan upaya penulis untuk melakukan rekonstruksi suatu aset nasional yang memiliki muatan lokal. Berikut penelusurannya:
LATAR BELAKANG MATARAM KUNO
Di Jawa Tengah abad VIII – X, ada kerajaan besar, bernama Medang yang terletak di Poh pitu. Kerajaan ini luas, dikenal subur dan makmur. Pusat kekuasaan dibagi menjadi dua; Pertama, negara yang bersifat internasional dengan beragama Budha, diperintah oleh Dinasti Syailendra. Kedua, negara yang diperintah oleh sepupunya yang beragama Syiwa. Kedua kerajaan ini berada dalam satu istana, dan disebut Kerajaan Medang i Bhumi Mataram. Berdasarkan prasasti berbahasa Melayu Kuno (Desa Sojomerto, Batang) memperkuat pendapat sejarawan Purbacaraka, bahwa hanya ada satu dinasti saja di Jawa Tengah, yakni Syailendra. Raja Sanjaya yang menganut Syiwa di kemudian hari menganjurkan putranya, Rakai Panangkaran untuk memeluk Budha. Menurut catatan Boechori, epigraf dan arkeolog, Syailendra merupakan penduduk asli Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh prasasti Wanua Tengah III (Temanggung) yang memuat silsilah raja-raja Mataram lengkap dengan tahunnya.
ASAL MULA RAJA SANJAYA DAN TANAH BAGELEN
Berdasarkan prasasti Canggal (Sleman) menjelaskan: -ada sebuah pulau bernama Yawadwipa -negeri yang kaya raya akan padi, jewawut, dan tambang emas. -raja pertamanya : Raja Sanna. -setelah dia mangkat, diganti oleh ponakannya: Raja Sri Sanjaya Menurut catatan seorang sejarawan, Raja Sanjaya mendirikan kerajaan di Bagelen, satu abad kemudian dipindah ke Wonosobo. Sanjaya adalah keturunan raka-raka yang bergelar Syailendra, yang bermakna “Raja Gunung“, “Tuan yang Datang dari Gunung“. Atau, “Tuan yang Datang dari Kahyangan“, karena gunung menurut kepercayaan merupakan tempatnya para dewata.
Raja Sanjaya dikenal sebagai ahli kitab-kitab suci dan keprajuritan. Armada darat dan lautnya sangat kuat dan besar, sehingga dihormati oleh India, Irian, Tiongkok, hingga Afrika. Dia berhasil menaklukkan Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kerajaan Melayu, Kemis (Kamboja), Keling, Barus, dan Sriwijaya, dan Tiongkok pun diperanginya (from “Cerita Parahiyangan“).
Area Kerajaan Mataram Kuno (Bagelen) berbentuk segitiga. Ledok di bagian utara, dikelilingi Pegunungan Menoreh di sisi Barat dan Pegunungan Kendeng di utara dan basisnya di pantai selatan dengan puncaknya Gunung Perahu (Dieng), di lembah Sungai Bagawanta (Sungai Watukura, kitab sejarah Dinasti Tang Kuno 618-906). Catatan dinasti Tiongkok tersebut diperkuat juga oleh Van der Meulen yang menggunakan kitab “Cerita Parahiyangan” dan “Babad Tanah Jawi“.
Bagelen merupakan hasil proses nama yang final. Bermula Galuh/Galih, menjadi Pegaluhan/Pegalihan, menjadi Medanggele, Pagelen, lalu jadilah Bagelen. Dalam prasasti Tuk Mas (Desa Dakawu, Grabag-Magelang) yang menyebut adanya sungai yang seperti sungai Gangga, maka Medang i bhumi Mataram bermakna “Medang yang terletak di suatu negeri yang menyerupai Ibu” (lembah Sungai Gangga). Dieng diasumsikan sebagai Himalaya, Perpaduan Sungai Elo dan Progo disamakan sebagai Sungai Gangga, dan pegunungan Menoreh disamakan sebagai Pegunungan Widiya.
SILSILAH RAJA-RAJA MATARAM KUNO
Pada jaman Mataram Hindhu, tersebutlah seorang raja yang bijaksana yang bernama Prabu Sowelocolo. Ia memiliki enam orang putra, masing-masing bernama Sri Moho Punggung, Sendang Garbo, Sarungkolo, Tunggul Ametung, Sri Getayu, dan Sri Panuhun.
Sri Panuhun memiliki seorang cucu, anak dari Joko Panuhun atau Joko Pramono yang bernama Roro Dilah atau Roro Wetan yang kemudian dikenal dengan sebutan Nyai Bagelen. Roro Dilah juga dapat disebut dengan Roro Wetan karena kedudukannya di daerah timur. Sri Getayu memiliki cucu dari putra Kayu Mutu bernama Awu-Awu Langit. Ia berkedudukan di Awu-Awu (Ngombol). Setelah dewasa, Roro Dilah menikah dengan Raden Awu-Awu Langit dan menetap di Hargopuro atau Hargorojo.
Dari pernikahan tersebut, Roro Dilah atau Roro Wetan dan Pangeran Awu-Awu Langit dianugrahi tiga orang putra, Bagus Gentha, Roro Pitrang dan Roro Taker.
Kesibukan Roro Wetan dan Awu-Awu Langit adalah bertani padi, ketan, dan kedelai, beternak sapi, ayam dan juga menenun. Konon karena tanahnya cocok untuk ditanami kedelai dan hasilnya melimpah maka wilayah tersebut dikenal dengan nama Medang Gelih atau Padelen dan sekarang disebut dengan Bagelen.
Roro Wetan atau Nyai Ageng Bagelen sosoknya tinggi besar dengan rambut terurai dan senang memakai kemben lurik. Beliau memiliki keistimewaan berupa kemampuan spiritualnya dan juga payudaranya yang sangat panjang sehingga ketika putra-putrinya ingin ngempeng, ia tinggal menyampirkan ke belakang.
Pada suatu ketika, Nyai Ageng Bagelen sedang asik menenun. Sebagaimana biasanya, ia menyampirkan payudaranya ke belakang supaya tidak mengganggu. Tidak disangka-sangka datang anak sapi menghampirinya, Nyai Ageng Bagelen mengira itu salah satu putra-putrinya yang ingin ngempeng. Tanpa menghiraukan kedatangan anak sapi tersebut ia terus asik menenun. Terkejutlah ia ketika menoleh, ternyata yang menyusu bukanlah anaknya tetapi anak sapi.
Kejadian tersebut membuat Nyai Ageng Bagelen merasa malu dan marah, sehingga menyebabkan pertengkaran dengan Raden Awu-Awu Langit. Dan akhirnya ia menyampaikan pesan untuk semua anak cucu beserta keturunannya, agar atau tidak boleh memelihara sapi.
Peristiwa yang memilukan atau menyedihkan juga terjadi kembali pada hari Selasa Wage. Pada waktu itu masih musim panen kedelai dan padi ketan hitam. Kedua putrinya Roro Pitrang dan Roro Taker masih senang bermain-main. Namun tidak sebagaimana biasanya, hingga sore hari kedua putri itu tidak kunjung pulang.
Selesai menenun Nyai Ageng Bagelen berusaha mencari. Karena tidak menemukannya, ia menanyakan kepada suaminya. Namun jawaban Raden Awu-Awu Langit sepertinya kurang mengenakan. Dengan perasaan marah dan jengkel dibongkar padi ketan hitam dan kedelai di dalam lumbung sehingga isinya berhamburan terlempar jauh hingga jatuh di desa Katesan dan Wingko Tinumpuk.
Betapa terkejutnya Nyai Ageng Bagelen ketika melihat kedua putri kesayangannya terbaring lemas pada lumbung padi tersebut. Setelah didekati ternyata mereka telah meninggal.
Semenjak peristiwa tersebut kehidupan Nyai Ageng Bagelen dengan Raden Awu-Awu Langit selalu diwarnai dengan pertengkaran. Akibatnya Raden Awu-Awu Langit memutuskan untuk pulang ke daerahnya, Awu-Awu, sedangkan Nyai Ageng Bagelen tetap tinggal di Bagelen untuk memerintah negeri.
Suatu ketika terdengar kabar bahwa Raden Awu-Awu Langit meninggal di desa Awu-Awu. Mendengar berita tersebut Nyai Ageng Bagelen merasa sedih dan berpesan kepada Raden Bagus Gentha bahwa anak cucu keturunannya dilarang atau berpantangan untuk bepergian atau jual beli, mengadakan hajad pada hari pasaran Wage, karena pada hari itu saat jatuhnya bencana dan merupakan hari yang naas. Selain itu orang-orang asli Bagelen juga berpantangan untuk menanam kedelai, memelihara lembu, memakai pakaian kain lurik, kebaya gadung melati dan kemben bangau tulis.
Setelah Nyai Ageng Bagelen menyampaikan pesan tersebut kepada Raden Bagus Gentha putranya, ia kemudian masuk ke kamarnya dan lemudian menghilang tanpa meninggalkan bekas atau moksa.
Selain itu Nyai Ageng Bagelen juga mengajarkan kepada anak cucu keturunannya agar melakukan tiga hal, yaitu: bersikap jujur, berpenampilan sederhana dan lebih baik memberi dari pada meminta.
Sepeninggalan Nyai Ageng Bagelen, kedudukan dan pemerintahan Bagelen digantikan oleh Raden Bagus Gentha.
Wednesday, April 1, 2015
Budidaya Kapulogo
MENGENAL TANAMAN KAPULOGO
Tanaman kapulogo merupakan tanaman herbal yang membentuk rumpun, bentuknya seperti tumbuhan jahe dan dapat mencapai ketinggian 1-2 meter. Kapulogo memiliki batang berpelepah daun yang membalut batangnya. Letak daunnya berseling-seling. Bunganya tersusun dalam tandan yang keluar dari rimpangnya.
Secara umum, tanaman kapulogo mulai dibudidayakan di Indonesia pada tahun 1986 yaitu jenis tanaman kapulogo jawa (Amomum cardomomum) dan kapulogo sabrang/mersah (Elettaria cardomomum) yang berasal dari India.
Tanaman kapulogo sendiri mempunyai banyak nama daerah diantaranya Kapulaga, Kardamon (Aceh, Melayu), kardamunggu atau Gardamunggu (Jakarta), Palago, Pelaga, atau Puwar (Minangkabau), Kapol, Kapol sebrang, Pelaga (Sunda), Kapulogo, Kapulogo sabrang, Pulogo, Kapol sabrang (Jawa), Kapolagha atau Palagha (Madura), Kapolagha, Korkolaka (Bali), Gandimong (Bugis), Garidimong atau Kapulaga (Ujung Pandang).
Orang Tionghoa menyebutnya pai thou kou (bahasa Tionghoa). Orang Yunani biasa menyebut cardamomom yang kemudian dilatinkan oleh orang Romawi menjadi cardamomum. Dalam bahasa Inggris disebut cardamom. Dalam bahasa Thai disebut krava, elaichi dalam bahasa Hindi, dan elakkaai dalam bahasa Tamil sedangkan di Malaysia dikenal dengan nama Pelaga (Malaysia).
Selain tumbuh liar di kebun dan pekarangan, tanaman kapulogo juga dapat dibudidayakan dengan sistem tumpangsari (agroforestry), yaitu menjadi tanaman sela dalam perkebunan maupun kehutanan seperti yang ditemukan di Cirebon, Jawa Barat dan Purworejo Jawa Tengah. Tanaman kapulogo ini dapat tumbuh dan berkembang dengan subur ditempat teduh dibawah tegakan pohon diantaranya pohon sengon, pinus, sono dan jati.
SYARAT TUMBUH KAPULOGO
Tanah yang cocok untuk ditanami kapulogo adalah tanah lempung yang berwarna coklat, memiliki humus tebal dan berdrainase baik. Tanaman ini tidak tahan terhadap genangan air, tanah yang memiliki topografi rata sampai miring dapat ditanami tanaman ini. Di lahan yang berlereng curam, rumpun tanaman yang terbentuk akan berfungsi mengurangi atau menghambat aliran air permukaan yang berlebihan sehingga erosi permukaan dapat ditekan.
Sedangkan untuk iklim, tanaman kapulogo menghendaki kelembaban udara cukup tinggi yaitu 40 – 75%, dengan curah hujan berkisar antara 2500 – 4000 milimeter per tahun. Suhu harian rata-rata darah tempat tumbuh tanaman kapulogo adalah berkisar antara 20 – 30 derajat celcius, dengan intensitas cahaya terbaik bagi pertumbuhan tanaman berkisar antara 30 – 70%. Kelebihan lain dari tanaman kapulogo adalah dapat tumbuh baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi. Sementara itu untuk memperoleh hasil yang terbaik, ketinggian pada 300 – 500 meter dari permukaan air laut merupakan daerah budidaya yang paling tepat.
BUDIDAYA KAPULOGO
Penyediaan bibit kapulogo umumnya diperbanyak dengan anakan atau tunas baru atau percabangan rizoma yang membentuk tunas. Bibit yang baik adalah tunas yang tingginya lebih kurang 50 cm dengan akar rizoma yang muda dan mata tunasnya banyak, rizoma yang sudah tua pertumbuhannya kurang baik.
Persiapan lubang tanam dilakukan sebulan sebelum penanaman dengan terlebih dahulu dibuat lubang tanam dengan ukuran panjang 50 cm dan dalamnya 40 cm. Sebaiknya 15 hari setelah pembuatan lubang, tanah dikembalikan lagi ke dalam lubang, sebelumnya tanah dicampur dulu dengan pupuk kandang secukupnya.
Waktu tanam yang baik yaitu awal musim penghujan, yaitu sekitar bulan Oktober – Desember. Caranya: bila tanah olahan atau lubang tanam telah tersedia dan bibit telah disiapkan, kemudian buat lubang kecil, letakkan bibit sedalam 10 – 15 cm. Tanah di sekitarnya dipadatkan atau ditimbun dengan memperhatikan tunas agar tidak sampai terganggu (terluka atau patah). Jarak tanam untuk kapulogo bisa digunakan 1m x 1,5m atau 1m x 2m dan juga bisa 1,5m x 2m.
Beberapa pekerjaan penting dalam pemeliharaan kapulogo yang harus dilakukan antara lain: penyiangan rumput atau pengendalian gulma, penggemburan diluar rumpun untuk merangsang perumbuhan anakan rimpang sehingga bisa tumbuh lebih baik, pemotongan daun kering untuk tidak menghalangi penyerbukan bunga, pemotongan batang yang sudah agak tua atau menguning untuk memberi kesempatan batang muda tumbuh dengan baik, pengaturan anakan agar tidak tumpang tindih dan untuk merangsang pertumbuhan bunga atau buah juga unuk mengurangi penguapan pada musim kemarau serta untuk mendapatkan anakan atau bibit baru.
Di masa pemeliharaan ini, yang tidak kalah pentingnya juga pemberian mulsa berupa bahan organik dari jenis tanaman leguminosa. Untuk lebih meningkatkan mutu maka perlu dilakukan pemupukan mengingat tanaman kapulogo termasuk rakus akan unsur hara, sehingga pemupukan sangat diperlukan terutama sekali pupuk organik. Adapun cara dan jumlah pupuk yang diberikan adalah berdasarkan masa pertumbuhan TBM (Tanaman Belum Menghasilkan).
Untuk pemupukan diberikan pada saat pengolahan tanah, dan pada saat penggemburan diluar rumpun sebanyak 1 – 1,5 kg pupuk kandang, pemupukan berikutnya setiap 3 bulan sekali. Bagi tanaman kapulaga yang sudah menghasilkan, pupuk kandang diberikan sebanyak 10 – 15 kg setiap rumpun dan pemberian selanjutnya disesuaikan dengan kondisi tanaman dan lingkungan.
PEMANENAN
Kapulogo dapat memberikan hasil setelah berumur 2 – 3 tahun. Kapulogo berbuah sepanjang tahun sehingga untuk pemanenan ini tidak menentu. Dalam pemanenan kapulogo dikenal istilah panen besar 4 kali dan panen kecil 4 kali yang berlangsung dalam 1 tahun secara berselang-seling. Tanaman dapat dipergunakan sampai umur 10 – 15 tahun. Hasil panen per hektar bisa mencapai 2 – 3 ton buah kering per tahun dan ini berlaku untuk tanaman yang sudah berumur belasan tahun.
Adapun syarat-syarat pemanenan kapulogo adalah buah harus dipanen sebelum benar-benar matang, bila dipanen terlalu matang atau kering, buah akan pecah dan warnanya juga kurang bagus. Waktu panen yang tepat adalah jika buah sudah berwarna merah kekuning-kuningan.
Cara panen yaitu dengan memotong karangan bunga dibawah dompolan buah. Buah yang sudah dipanen kemudian dijemur sampai kering, sebaiknya jangan terkena sinar matahari langsung atau dikering anginkan.
Thursday, February 5, 2015
Beternak Kambing
Ada 3 hal pokok yang harus diperhatikan dalam beternak kambing yaitu : Bibit kambing, Makanan, Tata cara beternak
I. BIBIT KAMBING
Pemilihan bibit kambing harus disesuaikan dengan tujuan dari usaha beternak kambing itu sendiri, apakah untuk pedaging, atau perah. misalnya untuk produksi daging maka pemilihan bibitnya adalah kambing kacang, sedangkan untuk perah dapat dengan kambing etawa. Ciri bibit kambing yang baik adalah berbadan sehat, tidak cacat, daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan, bulu bersih dan mengkilat.
> Ciri untuk calon induk :
_ Tubuh kompak, dada dalam dan lebar, garis punggung dan pinggang lurus, tubuh besar, tapi tidak terlalu gemuk.
_ Jinak dan sorot matanya ramah.
_ Kaki lurus dan tumit tinggi.
_ Gigi lengkap, mampu merumput dengan baik (efisien), rahang atas dan bawah rata.
_ Dari keturunan kembar atau dilahirkan tunggal tapi dari induk yang muda.
_ Ambing simetris, tidak menggantung dan berputing 2 buah.
> Ciri untuk calon pejantan :
_ Tubuh besar dan panjang dengan bagian belakang lebih besar dan lebih tinggi, dada lebar, tidak terlalu gemuk, gagah, aktif dan memiliki libido (nafsu kawin) tinggi.
_ Kaki lurus dan kuat.
_ Dari keturunan kembar.
_ Umur antara 1,5 sampai 3 tahun.
II. MAKANAN
Jenis dan cara pemberiannya disesuaikan dengan umur dan kondisi ternak. Pakan yang diberikan harus cukup protein, karbohidrat, vitamin dan mineral, mudah dicerna, tidak beracun dan disukai ternak, murah dan mudah diperoleh. Pada dasarnya ada dua macam makanan, yaitu hijauan (berbagai jenis rumput) dan makan tambahan (berasal dari kacang-kacangan, tepung ikan, bungkil kelapa, vitamin dan mineral).
Cara pemberiannya :
Diberikan 2 kali sehari (pagi dan sore), berat rumput 10% dari berat badan kambing, berikan juga air minum 1,5 - 2,5 liter per ekor per hari, dan garam berjodium secukupnya.
Untuk kambing bunting, induk menyusui, kambing perah dan pejantan yang sering dikawinkan perlu ditambahkan makanan penguat dalam bentuk bubur sebanyak 0,5 - 1 kg/ekor/hari.
III. TATA CARA DALAM BETERNAK
1. Kandang
_ Harus segar (ventilasi baik, cukup cahaya matahari, bersih, dan minimal berjarak 5 meter dari rumah).
_ Ukuran kandang yang biasa digunakan adalah :
• Kandang beranak : 120 cm x 120 cm /ekor
• Kandang induk : 100 cm x 125 cm /ekor
• Kandang anak : 100 cm x 125 cm /ekor
• Kandang pejantan : 110 cm x 125 cm /ekor
• Kandang dara/dewasa : 100 cm x 125 cm /ekor
2. Pengelolaan reproduksi
Diusahakan agar kambing bisa beranak minimal 3 kali dalam dua tahun.
> Hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
_ Kambing mencapai dewasa kelamin pada umur 6 s/d 10 bulan, dan sebaiknya dikawinkan pada umur 10-12 bulan atau saat bobot badan mencapai 55 - 60 kg.
_ Lama birahi 24 - 45 jam, siklus birahi berselang selama 17 - 21 hari.
_ Tanda-tanda birahi : gelisah, nafsu makan dan minum menurun, ekor sering dikibaskan, sering kencing, kemaluan bengkak dan mau/diam bila dinaiki.
_ Ratio jantan dan betina = 1 : 10
> Saat yang tepat untuk mengawinkan kambing adalah :
_ Masa bunting 144 - 156 hari (5 bulan).
_ Masa melahirkan, penyapihan dan istirahat ± 2 bulan.
3. Pengendalian Penyakit
Hendaknya ditekankan pada pencegahan penyakit melalui sanitasi kandang yang baik, makanan yang cukup gizi dan vaksinasi.
Penyakit yang sering menyerang kambing adalah: cacingan, kudis (scabies), kembung perut (bloat), paru-paru (pneumonia), orf, dan koksidiosis.
Thursday, March 27, 2014
Tekhnik Pembuatan Gula Semut Dari Nira Kelapa
Gula merah yang beredar di beberapa daerah di Indonesia masih bervariasi, baik jenis produk, warna, ukuran maupun mutunya. Teknis pembuatan gula merah biasanya diperoleh para perajin gula kelapa secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Peralatan yang digunakan masih sangat sederhana, sehingga mutu produk yang dihasilkan masih relative rendah. Dalam rangka diversifikasi produk hasil kelapa telah dikembangkan gula kristal semut.
Gula kristal semut adalah merupakan modifikasi dari produk gula merah dengan tingkat kekeringan yang lebih tinggi sehingga mempunyai masa simpan yang lebih lama dibandingkan dengan gula merah pada umumnya. Pada prinsipnya proses pembuatan gula kristal semut hampir sama dengan pembuatan gula merah, hanya pada tahap akhir ada sedikit perbedaan yaitu dengan penambahan proses pembuatan serbuk.
Prinsip pembuatan gula merah adalah menguapkan nira kelapa sampai mencapai kekentalan tertentu dan kemudian dicetak dan peralatanya pun cukup sederhana, sedangkan dalam proses pembuatan gula semut digunakan peralatan tambahan berupa bathok gerusan yang terbuat dari tempurung kelapa untuk alat penghancur nira yang mulai mengering dan saringan untuk pembentukan serbuk dan untuk memperkecil ukuran serbuk yang dihasilkan.
Langkah kerja :
1. Persiapan nira kelapa
Proses pembuatan gula merah diawali dengan tahap persiapan bahan dan pembersihan nira yang akan diolah, pembershan nira dilakukan dengan cara memisahkan kotoran yang berupa manggar, bangkai serangga, sekul (busa nira) dengan menggunakan alat penyaring.
2. Pemasakan nira kelapa
Setelah dilakukan penyaringan nira, kemudian nira tersebut dituangkan dalam wajan besar atau bejana yang khusus untuk memasak gula, selanjutnya nira dipanaskan dengan menggunakan api dari kayu bakar dengan suhu antara 120-130 derajat celcius. Selama penguapan maka perlu dilakukan pengadukan sehingga panasnya dapat merata. Setelah air nira mulai membentuk seperti busa yang akan meluber keluar dari wajan lalu tambahkan air santan kelapa dengan ukuran 1 gelas kecil dengan sendirinya air nira akan surut (mendek) dan aktifitas pengadukan harus sering dilakukan agar tidak gosong. Selanjutnya nira mulai mengental mirip seperti adonan dodol dan perlu diketahui panas api harus dikurangi dan proses pengadukan tidak boleh terhenti sampai air nira sudah tua (mengental padat) kemudian wajan diangkat dari tungku (luweng).
3. Penggerusan
Setelah adonan nira diangkat dari tungku (luweng) dan dinginkan sambil diaduk-aduk sebelum proses penggerusan dilakukan. Apabila tidak sambil diaduk-aduk maka nira akan cepat mengeras. Setelah cukup mengering dan dingin proses penggerusan bisa dimulai dengan cara menekan atau menggesekkan adonan nira ke lapisan wajannya dengan menggunakan batok kelapa yang sudah dikasih gagang pada bagian tengahnya..
4. Pembuatan gula semut
Setelah proses penggerusan , nira akan berbentuk seperti sarang semut dari tanah dan kerikil-kerikil kecil kemudian dilakukan tahap pengayaan. Adapun tahapan pengayaan dalam proses pembuatan gula semut adalah untuk memperoleh keseragaman ukuran serbuk maka perlu digunakan ayakan dengan ukuran 20 mash.
5. Pengemasan
Proses terakhir dari pembuatan gula semut adalah pengemasan. pengemasan yang baik adalah dengan menggunakan plastik yang tahan panas dan kedap air serta tidak mudah rusak, adapun ukuran kemasan disesuikan dengan keadaan dan permintaan pasar.
Demikian teknik dan cara pembuatan gula semut semoga dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Wednesday, May 1, 2013
Mari Bangun Dusun Kita Tercinta " Tepus Somorejo "
Lembah pedukuhan Tepus, foto diambil dari puncak gunung Agung |
Tidak bisa dipungkiri, kadang kita terlena oleh glamour kehidupan ditempat yang lebih menjanjikan, dan kesibukan yang terus memojokkan kita. Tapi itu bukan berarti menjadikan alasan untuk semakin meminggirkan dimana tempat kita terlahir (Tepus) didalam diri kita. Kepribadian, semangat, polapikir, bahkan darah di dalam tubuh kita merupakan jelmaan dari sebuah kehidupan yang secara tidak langsung mempunyai ikatan batin kekeluargaan dan culture yang sama. Persamaan hal itu yang secara tidak kita sadari, bahwa dalam jiwa yang saling berjauhan ini kita disatukan oleh satu semangat yaitu “Keluarga Besar Pedukuhan Tepus”.
Dari sinilah sebenarnya permasalahan itu muncul dan inti dari tulisan ini. Akan kita cari tahu bersama dan kita resapi apa yang telah kita lakukan untuk tanah kelahiran kita. Kalau kita mau flashback kemasa kanak – kanak kita, coba bayangkan betapa indahnya saat itu. Keceriaan, kegembiraan, canda, tawa, bahkan tangis, sedih, haru, dan sepenggal kisah “kenakalan” di masa kanak-kanak kita. Tempat kita lahir telah memberikan seluruhnya yang dia punyai agar kehidupan kita lebih berwarna dan indah.
Masih ingatkah keceriaan kita saat mandi di sungai (ciblon) dikedung jumbleng, disolongan mbekukung, tawu dikali cari ikan kutuk, wader, chithul, urang, cari plong (sarang jungkang). Betapa cerianya bermain dihutan cari jangkrik, cari burung, cari kayu bakar, panjat pohon (penek'an wit), ngarit/ramban. Bagaimana rasa jambu mente, duet, salam, nanas, nam-naman, degan, pelem dan pakel?
Dimanakah letak mengger, puthuk watu, dimana kita bisa main layang - layang, main mblanthong, senangnya kita main bersama - sama, main betengan, main gobak sodor, main bis bis thung (petak umpet), main plorodan pake bongkok, main perang - perangan mengikuti adegan serial tv berjudul combat, senangnya kita saat ada pertunjukan wayang dan jaran kepang/incling diacara merti deso (bersih deso).
Keceriaan diSDN Tepus, saat tiba jam istirahat sekolah kita bermain kasti, engklek, gamparan, cutat (patel lele), seguh, jepretan karet, uthit, gatheng, bal bekel, dir -diran/panda/dudutan, adu gambar wayang ada yang curang jagonya digamblok dsb. Sepenggal dari kisah indah masa kecil dari sekian banyak kejadian yang telah kita alami. Cobalah kita flashback dan renungi bersama, mencoba mengingatkan betapa bersyukurnya kita dilahirkan didusun Tepus.
Akan tetapi semua itu seolah ironis dengan kehidupan sekarang. Sudahkah kita berterima kasih atas keceriaan, kegembiraan dan semua yang telah Tepus berikan? Pernahkan kita berfikir , konstribusi apa yang pernah kita berikan? Seberapa besar kita bisa membalas? Bagaimana kepedulian kita terhadap perkembangannya? Seberapa perhatian kita? Dan masih banyak lagi hal - hal sepele yang kadang kita lupa begitu saja seolah acuh - tak acuh dengan dusun Tepus kita tercinta. Apakah itu adil saudaraku? Jawaban ada di diri kita semua. Silahkan kita renungi, kita resapi dan kita jawab lewat hati kita masing-masing.
Semua belum terlambat, lebih baik bertindak dari pada tidak sama sekali. Mulai saat ini marilah kita peduli dengan perkembangan desa kita, marilah bersama satukan langkah, bulatkan tekad demi kemajuan dusun Tepus. Bukan waktunya untuk acuh lagi, sekarang masa depan ada ditangan kita. Ajakan ini tertujukan kepada semua pihak yang terketuk hatinya dan mau berbagi ide pemikirannya. Peran aktif kita semua sangat dibutuhkan, mari saling bahu membahu untuk membangun kemajuan bersama. Tidak ada kemerdekaan tanpa perjuangan.
Mari bersama untuk memahami, mengerti, mencintai dan mensyukuri…
Tepus Somorejo Menanti Kita…. Gregah, Gumregah, Anggayuh Mukti!!
Menggeran / puthuk ngebonan |
Subscribe to:
Posts (Atom)