Welcome To Tepus Somorejo Bagelen

Tuesday, June 9, 2015

Bermain di Era 80 _ 90

meriam bambu (long penamaan didusun Tepus)
bermula dari bermain meriam bambu atau long dalam bahasa kampung tertanamlah jiwa patriotisme, dikala itu seolah bagaikan prajurit militer yang sedang bertugas mengemban amanah negara.

bambu tolop
lalu berlatih perang seperti tentara dengan bermain (pring tulup), mengendap-endap mendekati musuh bagaikan operasi khusus pasukan elit.

ketapel/plintheng
berbekal senjata andalan ketapel/plintheng berlatih untuk membidik tepat sasaran (titis).
egrang
dengan egrang bisa melangkah kemanapun tanpa hambatan.
plorodan
nyali tinggi dipertaruhkan dengan plorodan ditebing yang curam dan panjatan dipohon yang tinggi.

penekan
bentengan
kala itu kekompakan dilatih dengan main bentengan, kasti, gobag sodor, ular naga, kothekan dsb.
kothekan
kasti
ular naga
gobag sodor
beradu strategi itu diperlukan dengan bermain panggalan, patel lele, engklek, bola bekel, congklak, kelereng dll.

panggalan
patel lele
engklek
tali karet
bal bekel
dam daman
congklak
cublak suweng
kelereng
layangan
Terlalu indah untuk dilupakan bukan ...???

Friday, June 5, 2015

Selamat Datang Bulan Ramadhan



Marhaban ya Ramadhan, Selamat Datang Bulan Suci Ramadhan.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS al-Baqarah: 183).

Marhaban ya Ramadhan, selamat datang bulan suci Ramadhan. Kata itu yang saat ini banyak diserukan umat Islam di seluruh dunia. Di masjid-masjid, mushala, televisi, koran-koran, radio hingga mailing list dan phone sellular pribadi, ungkapan selamat datang tampil dengan berbagai ekspresi yang variatif.

Marhaban ya Ramadhan sepatutnya bukan sekadar ucapan selamat datang yang terlontar dari mulut belaka. Sebab bulan yang penuh berkah ini sepatutnya disambut suka cita dan kebahagian hati yang diekspresikan , tetapi kebahagian hati yang diekspresikan dengan perubahan tindakan dan perilaku.

Ibadah puasa di bulan suci ini yang diwajibkan untuk orang-orang beriman di seluruh dunia bukan sekadar ibadah. Ibadah puasa di bulan Ramadhan sangat berbeda dengan ibadah lain. Sebab, puasa adalah ibadah ‘rahasia’. Artinya, orang itu berpuasa atau tidak hanyalah orang berpuasa itu sendiri dan Allah saja yang mengetahuinya.

Banyak nilai yang kita petik dalam ketika menjalankan ibadah puasa. Tidak sedikit literature dan referensi kajian tentang makna puasa yang mengatakan bahwa beragam nilai yang kita petik dari ibadah puasa di bulan Ramadhan seperti nilai sosial, kesehatan, spiritual hingga kepribadian.

Nilai sosial, perdamaian, kemanusiaan, semangat gotong royong, solidaritas, kebersamaan, persahabatan dan semangat prularisme. Ada pula manfaat lahiriah seperti pemulihan kesehatan (terutama perncernaan dan metabolisme), peningkatan intelektual, kemesraan dan keharmonisan keluarga, kasih sayang, pengelolaan hawa nafsu dan penyempurnaan nilai kepribadian lainnya.

Ada lagi aspek spiritualitas: puasa untuk peningkatan kecerdasan spiritual, ketaqwaan dan penjernihan hati nurani dalam berdialog dengan al-Khaliq. Semuanya adalah nilai-nilai positif yang terkandung dalam puasa yang selayaknya tidak hanya kita pahami sebagai wacana yang memenuhi intelektualitas kita, namun menuntut implementasi dan penghayatan dalam setiap aspek kehidupan kita.

Yang juga penting dalam menyambut bulan Ramadhan tentunya adalah bagaimana kita merancang langkah strategis dalam mengisinya agar mampu memproduksi nilai-nilai positif dan hikmah yang dikandungnya. Jadi, bukan hanya melulu mikir menu untuk berbuka puasa dan sahur saja. Namun, kita sangat perlu menyusun menu rohani dan ibadah kita.

Kalau direnungkan, menu buka dan sahur bahkan sering lebih istemewa (mewah) dibanding dengan makanan keseharian kita. Tentunya, kita harus menyusun menu ibadah di bulan suci ini dengan kualitas yang lebih baik daripada hari-hari biasa. Dengan begitu kita benar-benar dapat merayakan kegemilangan bulan kemenangan ini dengan lebih mumpuni.

Ramadhan adalah bulan penyemangat. Bulan yang mengisi kembali baterai jiwa setiap muslim. Ramadhan sebagai 'Shahrul Ibadah' harus kita maknai dengan semangat pengamalan ibadah yang sempurna.

Ramadhan sebagai 'Shahrul Fath' (bulan kemenangan) harus kita maknai dengan memenangkan kebaikan atas segala keburukan.

Ramadhan sebagai "Shahrul Huda" (bulan petunjuk) harus kita implementasikan dengan semangat mengajak kepada jalan yang benar, kepada ajaran Al-Qur'an dan ajaran Nabi Muhammad Saw.

Ramadhan sebagai "Shahrus-Salam" harus kita maknai dengan mempromosikan perdamaian dan keteduhan.
Ramadhan sebagai 'Shahrul-Jihad" (bulan perjuangan) harus kita realisasikan dengan perjuangan menentang kedzaliman dan ketidakadilan di muka bumi ini.

Ramadhan sebagai "Shahrul Maghfirah" harus kita hiasi dengan meminta dan memberiakan ampunan. Ramadhan juga sebagai bulan kesabaran, maka kita harus melatih untuk sabar dalam menjalani hidup. Maksud dari sabar yang tertera dalam al-Quran adalah ‘gigih dan ulet’ seperti yang dimaksud dalam (QS. Ali Imran/3: 146).

Semoga dengan mempersiapkan diri kita secara baik dan merencanakan aktivitas dan ibadah-ibadah dengan ikhlas, serta berniat "liwajhillah wa limardlatillah", karena Allah dan karena mencari ridha Allah, kita mendapatkan kedua kebahagiaan tersebut, yaitu "sa'adatud-daarain" kebahagiaan dunia dan akherat. Semoga kita bisa mengisi Ramadhan tidak hanya dengan kuantitas harinya, namun lebih dari pada itu kita juga memperhatikan kualitas puasa kita.


Sunday, May 31, 2015

Tradisi Ruwahan Masyarakat Jawa Via Wali Songo

     Ruwahan berasal dari kata “Ruwah” merupakan bulan urutan ke delapan, dan disebut dengan bulan Sya’ban tahun Hijriyyah. Kata “ruwah”sendiri memiliki akar kata “arwah”, atau roh para leluhur dan nenek moyang. Konon dari arti kata arwah inilah bulan Ruwah dijadikan sebagai bulan untuk mengenang para leluhur.

     Ruwahan dilakukan sepuluh hari sebelum bulan puasa (Ramadhan). Pada tradisi ini sejumlah acara digelar menurut tradisi dan adat di setiap masing-masing daerah atau wilayah. Acara dimulai dari acara nisfu syaban, bersih (bersih pemakaman) yang diiringi slametan kecil lalu kenduren di malam hari.

     Selang beberapa harinya dilakukan nyadran, hingga berakhir pada acara padusan tepat di penghujung hari menjelang puasa.

     Tradisi ini pada intinya melambangkan kesucian dan rasa sukacita memasuki ibadah dibulan puasa yang merupakan bentuk iman kesolehan individual dan kolektif.

     Nisfu sya’ban dilakukan pada malam ke-15 pada bulan sya’ban. Rangkaian acaranya berupa membaca surah yasin, sholat sunah berjamaah di masjid kemudian dilanjutkan membaca doa nisfu sya’ban bersama-sama dan diakhiri dengan makan bersama (ambengan). Kegiatan ini ditujukan untuk rasa syukur kepada Allah SWT sekaligus salah satu bentuk penyucian diri sebelum masuk ke bulan suci Romadhon.

     Adapun acara bersih kubur, slametan, hingga kenduri serta megengan (kirim-kirim hantaran makanan) adalah manifestasi dari praktik doa bagi semua keluarga sanak saudaranya yang masih hidup dengan saling bersilaturahmi, saling memaafkan dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasa dengan rasa yang suci penuh suka cita menjadi kesadaran orang Islam Jawa.

     Biasanya isi hantaran tradisi megengan di Jawa tidak meninggalkan tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan apem. Makna dari ketiga makanan itu adalah:
ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi, kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan barokah penuh kemanisan dan apem berarti jika ada yang salah maka sekiranya bisa saling memaafkan.

     Seperti yang sudah sering dijelaskan di artikel-artikel lain, ketan, kolak, dan apem memperoleh makna dengan mengaitkan nama tersebut dengan suatu kata dalam bahasa Arab. Ketan dengan kata ‘Khata-an’ yang berarti ‘kesalahan’. Secara filosofis, ini bermakna bahwa manusia dituntut agar ingat pada perbuatan salah, yang berawal dari diri sendiri, dan kemudian diharapkan agar terhindar dari kesalahan yang sama.

     Kolak dengan kata ‘Kholaqo’ atau sering juga dengan kata 'kholiq' atau 'khaliq'. Artinya adalah ‘mencipta’. Dari sini, muncul harapan agar pelaku (yang membuat dan yang memakan) dapat semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Ini dalam rangka mendoakan orang yang telah meninggal dan berada di alam lain.

Sementara apem dengan kata ‘Afwun’ yang berarti ‘permintaan maaf’ atau ‘ampunan’. Tak hanya meminta maaf, apem ini juga dimaknai sebagai simbol agar manusia juga dapat mudah memaafkan kesalahan orang lain.

     Jangan heran dulu tradisi ruwahan juga mengenal Mudik Ruwahan. Sementara itu, pasar-pasar kagetan di bulan Ruwah ini biasanya hanya berselang satu minggu, pada mulanya pasar kagetan ini utamanya diperuntukkan untuk orang agar dapat membeli bahan-bahan kebutuhan selama awal-awal minggu di bulan puasa.

     Mudiknya orang Jawa untuk ruwahan tak ubahnya sedang mereplika kisah Nabi Muhammad ketika beliau dan para sahabatnya hijrah ke Yatsrib atau Madinah, yakni mudik untuk melakukan tiga hal yang dibangun untuk mengukuhkan iman keislaman yakni mendirikan masjid, pasar, dan mengikat tali persaudaraan.

     Hal pertama yang dilakukan oleh Rosul adalah membangun masjid, ini dimaknai dan dipraktikkan oleh orang Jawa dengan mudik untuk nyadran atau nyekar biasanya setelah shalat dhuhur dan slametan bersama di langgar atau masjid dan atau melaksanakan kenduren setelah shalat maghrib di masjid setempat.
Dengan demikian acara ruwahan adalah memakmurkan masjid, meningkatkan kualitas sujud syukurnya pada Allah SWT.

     Yang kedua ritual slametan, kenduren dan megengan di bulan Ruwah ini juga telah membangun pasar perekonomian setempat, kegiatan ini mendistribusikan rizki dari perkotaan ke kampung-kampung di Jawa.

     Yang terakhir tradisi ruwahan itu sendiri telah memperat rasa persaudaraan antara kaum mereka yang di kampung (Anshar) dan mereka yang mudik (Muhajirin). Sebuah tradisi yang akan diulang kembali oleh orang-orang Islam Jawa saat menjelang akhir ibadah puasa Romadhon sampai awal bulan Syawal.

     Nyadran adalah ziarah kubur untuk mengingatkan manusia kepada asal-usulnya (sangkan paraning dumadi) yaitu para leluhur. Nyadran di awali dengan membersihkan makam dan sekitarnya dari rerumputan liar dan sampah lalu membacakan tahlil dan yasin berdoa pada Tuhan agar mereka yang telah tiada senantiasa mendapat rahmat Ampunan dari Gusti Allah SWT.

     Nyadran sendiri berasal dari kata “sradha”, yang merupakan tradisi yang diawali oleh Ratu Tribuana Tunggadewi, raja ketiga Majapahit. Pada jaman itu Kanjeng Ratu ingin melakukan doa kepada sang ibunda Ratu Gayatri, dan roh nenek moyangnya yang telah diperabukan di Candi Jabo. Untuk keperluan itu dipersiapkanlah aneka rupa sajian untuk didermakan kepada para dewa. Sepeninggal Ratu Tribuana Tunggadewi, tradisi ini dilanjutkan juga oleh Prabu Hayam Wuruk.

     Di masa penyebaran agama islam oleh Wali Songo, tradisi tersebut kemudian diadopsi menjadi upacara nyadran karena bertujuan untuk mendoakan orang tua di alam barzah. Sebagaimana disebutkan dalam berbagai hadist, bahwasanya ketika seseorang telah meninggal dunia dan berada di alam barzah, maka semua amal kebaikan di dunia menjadi terputus kecuali tiga hal, yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang sholeh. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban anak dan cucu untuk senantiasa mendoakan arwah leluhurnya yang telah meninggal. Hanya saja sajian yang dibuat tidak lagi diperuntukkan bagi para dewa, tetapi sebagai sarana sodakoh kepada kaum fakir miskin.

     Pada acara nyadran, berbagai macam bunga ditaburkan di atas makam orang-orang yang kita cintai, oleh karena itu nyadran juga disebut nyekar ( sekar = bunga). Keindahan dan keharuman bunga menjadi simbol untuk selalu mengenang semua yang indah dan yang baik dari mereka yang telah mendahului. Dengan demikian, hal itu memberikan semangat bagi yang masih hidup untuk terus berlomba-lomba demi kebaikan (fastabaqul khoirat).
     Tradisi ruwahan ini ditutup dengan acara padusan biasanya dilakukan setelah Dhuhur atau Ashar untuk membersihkan diri lahir batin memasuki bulan Romadhon.