Welcome To Tepus Somorejo Bagelen

Thursday, May 14, 2015

Dakwah Sosio Kultural Ala Wali Songo (Bagian I)


Kalau di desa, setiap hari tertentu biasanya Pak Kiai memberikan kegiatan pengajian kepada para santri dan warga desa setempat dan bersama dengan masyarakat desa tetangga. Yang menghadiri acara pengajian biasanya cukup banyak, sehingga seluruh ruangan Masjid terisi penuh , bahkan meluber sampai keluar pekarangan Masjid. Kenapa disebut dengan pengajian, dan siapa dan kapan istilah pengajian itu dipergunakan oleh para ulama khususnya di Jawa, untuk kegiatan menuntut ilmu agama. Kita ketahui bahwa penyebaran agama Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa mengalami perkembangan yang luar biasa yang dilakukan oleh Wali Songo.

Kegiatan menuntut ilmu agama, oleh Wali Songo dengan nama pengajian. Pengajian atau Pengkajian berbeda dengan belajar. Kalau belajar hanya pada aspek kognitifnya saja, atau sampai tahap pemahaman saja, tetapi mengkaji lebih dari pada pendalaman setelah melalui proses belajar, kemudian direnungkan dan selanjutnya merasuk kedalam diri kita , diharapkan menjadi milik diri kita dan menjadi driving force, menjadi kekuatan yang mengendalikan dan mengarahkan segala prilaku kita. Apa kaitannya dengan Wali Songo? Pengajian dalam bahasa Jawa disebut ngaji asalnya adalah Ngo-ji, yang artinya songo dan siji, songo itu sembilan dan siji adalah satu jumlahnya menjadi sepuluh.

Songo atau sembilan yang melambangkan pintu atau lubang jasad manusia. Siji diibaratkan lubang kematian atau lubang menuju alam kubur. Manusia dalam menjalankan kehidupan didunia pada umumnya hanya mengurus lubang yang sembilan itu, yang terletak pada jasad, 7 lubang ada dikepala, yaitu di mata 2 lubang, di hidung 2 lubang, mulut 1 lubang, ditelinga 2 lubang, sisanya ada di bawah 2 lubang. Kalau hidup hanya mengurusi 9 lubang saja, berarti hidup yang sia-sia, hidup yang tidak sempurna. Jangan mau diperbudak oleh lubang yang 9 itu. Manusia harus mengendalikannya supaya hidupnya tidak sia-sia.

Ki Dalang sering menyebutnya Nutupi babahan Nawa Sanga, babahan = hawa nafsu, nawa=lubang, dan sanga=Sembilan. Para Wali mewasiatkan kita tidak boleh mengabaikan lubang yang ke 10 itu, yaitu lubang kubur atau kematian. Kalau hidupnya tidak disertai mengaji /mengkaji ,tidak belajar agama sesungguhnya kita hanya dipelonco, di drive oleh lubang 9 itu. Kadang-kadang kita merenungkan kehidupan yang kita jalani ini, siang malam kerja keras , bolak-balik banting tulang kalau dipikir-pikir urusannya 9 lubang itu.

Wali Sanga datang ke Indonesia, dan mendapatkan kepulauan Nusantara ini masyarakatnya masih dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, yang merupakan Kerajaan besar di Nusantara yang masih menganut pemahaman tentang dewa-dewa, sebagian yang lain masih menganut animisme, Agama Nenek moyang. Wali Sanga mencari cara da’wah bagaimana caranya agar pesan-pesan agama bisa disampaikan kepada penduduk dan dapat diterima, melalui penyesuaian-penyesuaian kondisi sosio kultural yang melingkarinya, sehingga nyambung dengan realita. Sampai pada tujuan da’wahnya tetap memperhitungkan realita yang ada.

Oleh karena itu Islamisasi Indonesia sering dijadikan suatu contoh , model perubahan agama besar-besaran yang terjadi di dunia, karena khususnya di Jawa yang jumlah penduduknya mencapai 70% dari total jumlah penduduk di Indonesia, hampir semua berhasil dibawa oleh Para Wali. Islamisasi Indonesia, kepulauan Nusantara, khususnya di Jawa adalah salah satu contoh yang sangat menarik tentang konversi perkembangan suatu agama yang kemudian berhasil merubah semua masyarakat. Kalau boleh dikatakan dirubah yang tersisa satu dua seluruhnya bisa dibawa oleh Wali Songo.

Ini berbeda dengan yang terjadi agamisasi di Amerika Latin pada abad ke 15 yang menggunakan kekuatan militer karena pada waktu orang-orang Spanyol datang ke Amerika Latin dengan semboyan 3 G, yaitu gold, gospel, glory, maksudnya cari emas, sebarkan agama dan rebut kemenangan. Saat menemukan orang Indian yang kebudayaannya sudah sangat tinggi sehingga di Peru terkenal dengan kebudayaan Inca disana sudah ada kota untuk ukuran waktu itusudah modern tetapi kemudian mereka dipaksa masuk agama yang lain dengan hanya satu alternatif saja, masuk agama yang mereka bawa atau mati. Dan akibatnya banyak Indian yang lenyap.

Demikian juga yang terjadi di Australia, saat orang barat datang, suku aborigin dipaksa untuk mengikuti agama mereka. Saat orang barat datang di Australia jumlah suku Aborigin 1 juta, sampai sekarang jumlahnya kurang lebih 400.000, seharusnya sekian ratus tahun bertambah tetapi malah justru berkurang.

Kembali kepada pendekatan Sosial Budaya dalam berda’wah Wali Songo di Jawa yang mempertimbangkan realitas sosial dan kebudayaan yang ada itulah yang dilakukan Wali Songo, 9 wali . Mereka adalah pemuka agama yang sangat berpengaruh saat itu, diantaranya adalah, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Kali Jaga, Sunan Muria, Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Derajat, Sunan Gunung Jati dan Sunan Maulana Malik Ibrahim. Kesembilan Wali ini oleh para sejarawan ketika diselidiki sebetulnya hidupnya tidak dinyatakan sezaman tetapi kebijakan-kebijakan oleh para wali ini kemudian dikenal dengan sebagai Wali Songo, kemudian menjadi semacam paket da’wah yang begitu lancar berkembang di Indonesia ini yaitu dengan mempertimbangkan realitas sosial, bagaimana Islam bisa berkembang di tanah Jawa dan sekitarnya, sampai kepelosok Nusantara :

I. Islam dipersepsikan sebagai agama yang sederhana, para Wali datang melihat ajaran agama saat itu yang mengajarkan kasta-kasta yang dalam pelaksanaannya sehari-hari ternyata sangat rumit. Seorang portugis Thomas Speirs kira-kira th 1400 datang di Indonesia menyaksikan dalam upacara Sati ( suatu upacara pembakaran mayat),saat itu ada seorang laki-laki dari kasta Brahmana yang meninggal dunia, sehingga istrinya wajib ikut dibakar menurut ajaran yang dipahami pada waktu itu. Kalau orang jawa pasti mengenal istilah swargo nunut, neraka katut, kira-kira bermakna susah atau senang seorang istri wajib taat ikut suami. Islam tidak mengajarkan wanita yang ditinggal mati suaminya wajib ikut mati, masih boleh tetap hidup tanpa suami, Jadi dalam hal ini Islam disajikan sesederhana mungkin, demikian juga tentang keyakinan tauhidnya.

Diwilayah pelosok desa yang masih tradisional di lereng gunung Merbabu yang dulu ada basis komunis, pasca G 30 S masyarakat setempat didatangi penda’wah atau misionaris, jawaban mereka saya orang Islam walaupun tidak sholat

II. Para Wali dalam menyebarkan Islam menonjolkan persamaan dengan kepercayaan yang sudah dianuti masyarakat setempat kala itu. Oleh Para Wali dicari persamaan-persamaannya baru kemudian dibawa kearah Islam.

Contohnya apa keyakinan orang Jawa pada saat itu bahwa orang yang sudah meninggal roh orang tersebut akan berkunjung kerumah yaitu selama 7 hari yang pertama. Keluarganya wajib meberikan penghormatan dan sambutan dengan memberikan sesajen-sesajen yang lengkap berupa klangenannya (kesenangannya) semasa hidupnya, ada tumpeng nasi kuning, lengkap dengan umbo rampe dan lauk pauknya, diterangi dengan lampu , dll. Demikian juga pada hari ke 40 hari ke 100, ke 1000 (matang puluh dino, nyatus dino, nyewu dino) diadakan selametan-selametan dan memberikan sesajen-sesajen untuk roh orang yang sudah meninggal.

Kemudian Para Wali mengajarkan bahwa kumpul-kumpul itu bagus, disitu ada silahturahmi dan mengingat si mati itu juga bagus , datang kumpul-kumpul menghibur yang sedang susah itu bagus, “ithlolul surur ‘ala ikhwan” menyenangkan orang itu sodakoh (sedekah) kumpul-kumpul untuk mengingat mati itu juga bagus karena “Dzikrul maut” jadi unsur-unsur yang baik di kepercayaan itu kemudian oleh para Wali Songo di pertahankan hanya kedalamnya dimasukan unsur ajaran islam, bahwa sesajen-sesajen tidak lagi diberikan kepada yang sudah mati, tetapi diberikan kepada yang masih hidup, tetangga dan terutama yang kekurangan atau fakir miskin.

Sedang mantra-mantra dalam bahasa nenek moyang mereka digantikan dengan kalimat Tauhid, Itulah yang kemudian menjadi Kenduri atau Tahlilan. Disebut Tahlilan karena dimasukan kedalam Kenduri pada tiap 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari itu ditanamkan kalimat Tauhid sebagai pengganti mantra-mantra itu. Para Nabi mengajarkan sejak dulu Annahu laa ilaha ilalaah “Afdaalu Dzkiri Annahu Laa ilaha ilallaah” dzikir yang paling baik adalah mengucapkan Laa ilaha ilallaah “tiada Tuhan selain Allah”.

Kampung-kampung di Jawa, walaupun ada yang tidak mempunyai langgar, mushola, atau masjid, dapat dipastikan masyarakatnya pernah tahlilan, karena setiap selamatan pasti ada tahlilan. Walaupun mereka tidak pernah ngaji tetapi mereka mengenal Al-pathekah, karena dalam tahlil ada bacaan surat Al-Fatheha dan mengenal surat-surat pendek lainnya Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, mereka juga mengenal ayat Kursi, walaupun bacaannya tidak pas betul, hanya belajar ikut-ikutan pada waktu kendurenan saja, sehingga banyak sekali bahasa yang terdistorsi, seharusnya Wala haulawala quata illa billah menjadi wala wala quwata.

Demikian mendarah daging, sehingga kalau dia mengalami beban yang berat dalam pekerjaan kesehariannya, cukup dengan mengucapkan wala wala quwata, maksudnya adalah Wala haulawala quata illa billah. Sampai dengan memberikan nama seseorang misalnya Dul Kepuk maksudnya adalah Abdul Ghoffur, Kasan-Kusen maksudnya adalah Hasan-Husen.

Bersambung ke bagian 2....

Friday, May 1, 2015

Turi-Turi Putih Warisan Eyang Giri



Bagi masyarakat Jawa, peninggalan wali sanga berupa lagu “Turi-turi Putih” sudah tidak asing lagi. Bahkan ada sebagian masyarakat menyelinginya dengan bacaan shalawat. Lagu tersebut merupakan peninggalan wali songo, khususnya Sunan Giri. Memang tak ada bukti valid soal itu, tetapi satu hal bahwa lagu tersebut begitu populer dan digemari masyarakat. Jauh lebih penting dari itu, ternyata lagu tersebut mengandung pesan ajaran kearifan, kesadaran akan kematian, akan amal setelah manusia meninggal.

Begitulah pesan Jadi tembang bagi kanjeng Sunan Giri bukan sekedar bunyi dan irama yang enak didengar, tetapi pesan yang disimpan jauh lebih membekas dan membuat orang begitu menghayati lagu tersebut.

“Turi-turi putih,
Ditandur neng kebon agung,
Turi-turi putih
Ditandur ning kebon agung
Cumleret tiba nyemplung
Gumlundhung kembange opo,
Mbok iro,
Mbok iro,
Mbok iro,
Kembange opo?”

Terjemahan :
TURI-TURI PUTIH
Turi, artinya tak aturi: (saya kasih tahu).
Putih itu simbolisme dari kain kafan/ pocongan: orang mati yang dibungkus dengan kain kafan (kain mori warna putih).
Arti selengkapnya: Saya kasih tahu, bahwa kelak manusia itu akan mati.

DITANDUR NING KEBUN AGUNG: di tanam di kebon agung,
Artinya mati di kubur di sebuah makam.

CUMLERET TIBO NYEMPLUNG:
Sebuah gambaran dari orang mati yang sedang dimasukkan dalam kuburan waktunya cepat seperti kilat jatuh

GUMLUNDUNG KEMBANGE OPO
Maksudnya, setelah orang yang mati itu selesai dikubur, maka kemudian akan diberi pertanyaan oleh malaikat soal amal perbuatannya.

MBOK IRO
MBOK IRO
MBOK IRO
KEMBANGE OPO?
Mbok iro, adalah simbol manusia yang sudah meninggal, selalu akan ditanya:
Amal apa yang sudah Kamu diperbuat?
Bekal apa yang akan kamu dibawa?

Begitulah, makna yang bisa diambil dari lagu tersebut. Namun, pada perkembangannya, sudah dimunculkan jawaban-jawabannya. Misalnya adalah lirik tambahan yang bukan karya kanjeng sunan, seperti:

Mbok iro mbok iro mbok iro kembange opo?
Kembang-kembang m’lathi
Kembang m’lathi dironce-ronce
Orang mati pada kelihatannya (biasanya) adalah membawa bunga melati yang dirangkai, dikalungkan pada peti jenazah.

Namun bukan itu yang sebenarnya yang dikehendaki Kanjeng sunan giri. Tetapi amal ketika hidup.

Maka lirik tambahan selanjutnya adalah:
Sing kene setengah mati
Sing kono ‘ra piye piye
Yang ada di sini (di dunia) susah setengah mati, tetapi yang di sana tidak ada apa-apa.
Ini adalah pandangan mata manusia pada umumnya.

Bagi mereka yang mau belajar dan mencari hikmah, justru hidup di dunia ini adalah kesusahan dalam rangka mempersiapkan amal kelak meninggal. Jika itu bisa dilakukan, maka benar adanya di sana dia tidak ada masalah yang berarti (sing kana ra piye piye) tetapi jika tidak ada amal, justru kehidupan di sanalah yang akan susah setengah mati.

Manusia lupa, bahwa dikubur siksanya setengah mati, tapi mereka hidup " ra piye-piye " tidak melakukan tindakan dan amalan yang baik untuk bekal di alam kubur nanti.

Sebaik-baiknya peringatan adalah kematian.

Syair tambahan Turi-Turi putih

Kembang mlati kembang mlati
Kembang mlati dironce-ronce

Ana kuburan setengah mati
Sing urip ora piye-piye

Kembang Kenanga kembang semboja
Disebar duwur kuburan

Dadi manungsa enggal tobato
Bali marang pengeran

Kembang puring kembang lancur
Ditandur sanding maisan

Sapa sing eling bakale mujur
Nikmat suwarga tanpa watesan

Monday, April 27, 2015

Budidaya Garut/Erut



Tanaman garut/erut (Maranta arundinacea L) dapat tumbuh maksimal di bawah lindungan pohon dengan kadar matahari minimum, sehingga tanaman ini potensial diusahakan di hutan rakyat, tanah pekarangan, maupun daerah-daerah penghijauan. Tanaman ini mampu tumbuh pada tanah yang miskin kesuburannya, meskipun untuk produksi terbaik harus dipupuk. Tanaman ini tidak membutuhkan perawatan yang khusus serta hama dan penyakitnya relatif sedikit.

Umbinya mulai dapat dimakan saat umur tanaman 3-4 bulan. Tanaman garut banyak dikenal di seluruh Indonesia dengan beberapa nama lokal seperti Erut (sebutan dipedukuhan Tepus), angkrik (Betawi), patat (Sunda), sagu (Ciamis dan Tasikmalaya), tarigu (Banten), sagu Belanda (Padang, Ambon dan Aceh) atau larut, pirut, kirut (Jawa Timur).

Tepung pati garut dapat digunakan sebagai alternatif untuk pengganti atau substitusi tepung terigu sebagai bahan baku pembuatan kue, mie, roti kering, bubur bayi, makanan diet pengganti nasi, disamping digunakan di industri kimia, kosmetik, pupuk, gula cair dan obat-obatan. Tetapi pemanfaatan tepung garut masih menghadapi beberapa kendala, terutama pemasaran dan kontinuitas pasokan bahan baku.

Untuk mengatasi kendala tersebut, ada beberapa hal yang dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan tanaman garut, antara lain niat pemerintah untuk mengubah paradigma impor bahan pangan dan menjadikan petani sebagai penjual produk olahan, bukan penjual bahan baku. Hal ini dapat dijadikan dasar untuk mendiversifikasikan pangan selain terigu dan beras, sehingga akan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap komoditi impor. Bila hal ini tidak segera dilakukan maka Indonesia akan sangat bergantung pada bahan baku impor. Ini merupakan sesuatu yang sangat ironis mengingat melimpahnya tanaman pangan alternatif yang dapat digali di negeri yang cukup subur ini.

Dilain pihak sistem usahatani yang selama ini dianut harus diubah. Hal ini memerlukan perubahan yang sangat mendasar, yaitu petani menjual hasil olahan bukan hasil panen. Walaupun membutuhkan waktu yang lama tetapi harus ada yang berusaha meyakinkan masyarakat (petani) bahwa masa depan pangan tergantung pada sumberdaya sendiri.

TEKNIK BUDIDAYA

Beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam budidaya tanaman garut adalah:
(1) pembenihan
(2) persiapan lahan
(3) penanaman tanaman naungan
(4) penanaman
(5) pemeliharaan tanaman dan
(6) pemanenan.

Pembenihan


Untuk memperoleh benih dalam usaha budidaya tanaman garut diperoleh dengan cara:
Perbanyakan dengan umbi
Perbanyakan dengan anakan

Untuk penananam 1 hektar diperlukan persemaian dengan luas 20 x 2 m. Media yang dibutuhkan untuk persemaian ini adalah tanah, sekam, pasir, pupuk kandang. Bedengan untuk persemaian ini dibuat dengan tinggi 20-30 cm.

Perbanyakan dengan Umbi
Umbi yang masih utuh diambil ujungnya (beberapa ruas) untuk dijadikan benih dengan syarat mata tunas tidak terluka, kemudian dipotong setiap satu ruas dan disemaikan di tempat persemaian yang sudah disiapkan. Setelah 20-30 hari akan terbentuk 3-5 helai daun dan benih tersebut siap untuk ditanam di areal yang sudah tersedia.

Perbanyakan dengan Anakan
Pada umur 4 bulan setelah tanam batang induk akan membentuk anakan (rumpun). Untuk memperoleh anakan yang baik dibutuhkan perawatan pada tanaman induk. Untuk memperoleh benih anakan, pemisahan anakan dari batang induk sebaiknya dilakukan setelah jumlah anakan 3-5 atau batang induk telah mencapai umur 4-5 bulan setelah tanam.

Persiapan Lahan

Persiapan lahan bertujuan untuk mengolah dan menggemburkan lahan (dengan kedalaman cangkulan 20-30 cm) memperbaiki struktur tanah, memperbaiki aerasi tanah, memperbaiki sistem drainase serta membunuh sumber penyakit dalam tanah. Setelah pengolahan, dibuat bedengan dengan panjang 10 m, lebar 1 m dan tinggi 30 cm. Bedengan ini dapat menampung 35-40 batang.
Tanaman garut juga dapat ditanam pada lahan yang tanpa diolah terlebih dulu. Caranya adalah dengan membuat lubang dengan ukuran 20 x 20 cm. Sebelum ditanam, lubang diberi dulu pupuk kandang. Jarak tanam yang dianjurkan adalah 40 x 40 cm.

Penanaman Tanaman Naungan

Jenis tanaman naungan yang baik adalah tanaman yang berakar lunak, seperti pisang, pepaya, dsb. Tetapi tanaman garut juga dapat beradaptasi dengan tanaman keras/tahunan seperti karet, rambutan, kelapa sawit, jati, dsb.
Jarak tanaman naungan berakar lunak (pisang, pepaya) 3 x 3 m, sehingga tanaman garut masih dapat menyerap sinar matahari 40-50%. Sedangkan jarak tanaman keras/tahunan tergantung pada kondisi di lapangan, terutama pada pertumbuhan akar tanaman keras/tahunan tersebut.

Penanaman

Lahan yang telah diolah atau tanpa olah dibuatkan lubang tanam 20 x 20 cm dengan jarak tanam 40 x 40 cm. Benih dari persemaian (telah berdaun 3-5 helai) dicabut, lalu ditanam dalam lubang yang telah disiapkan. Bila benih berasal dari anakan, maka jumlah daun dikurangi lebih dulu (dengan dipotong), lalu ditanam dalam lubang.

Pemeliharaan Tanaman

Pada umur tanaman 2-3 bulan setelah tanam, tanah digemburkan, lalu diberikan pupuk urea, masing-masing 200-300 kg per hektar tergantung pada kesuburan tanah dilokasi penanaman. Pupuk urea dan SP-36 diaduk menjadi satu lalu disebar di alur bumbunan.

Hama utama yang menyerang tanaman garut adalah uret, tikus dan ulat penggulung daun (Colopodes atheus). Sedangkan penyakit utama yang menyerang tanaman garut adalah penyakit terbakar daun (Rosellinia atheus) dan penyakit busuk daun (Pelliularian filomentosa). Cara pengendalian yang dilakukan tergantung pada jenis hama atau penyakitnya.

Hama uret dengan furadan
Hama tikus dapat diberantas dengan gropyokan atau menggunakan racun tikus (seperti klerat atau petrokum)
Hama ulat penggulung daun dapat diberantas dengan cara manual (dicari dan dibunuh) atau cara kimiawi dengan pestisida bubur bordeaux
Penyakit terbakar daun dikendalikan dengan cara eradikasi
Penyakit busuk daun dapat dicegah dengan perbaikan sistem drainase (pengairan)

Pemanenan


Tanaman garut dapat dipanen pada dua periode, yaitu:
Pada umur 6-7 bulan
Pemanenan ini dilakukan bila umbi tersebut akan digunakan atau diolah menjadi emping atau keripik, karena pada umur tersebut serat yang terkandung masih sedikit.
Pada umur 8-12 bulan
Hal ini dilakukan bila umbi akan diproses menjadi pati (tepung). Pemanenan sebaiknya dilakukan pada bulan-bulan kering agar rendemen patinya tinggi.

Pemanenan dilakukan dengan menggunakan garpu atau alat sejenis, lalu dibersihkan dari akar dan tanah dan dipotong sebatas pangkal rimpang. Yang perlu diperhatikan adalah varietas yang dipanen, varietas banana hanya dapat bertahan 2 hari, sedangkan varietas Creol dapat bertahan 7 hari setelah dipanen.

Komposisi Umbi GarutUmbi garut termasuk tanaman umbi-umbian yang mempunyai kandungan protein cukup tinggi. Umbi garut mempunyai kandungan protein 2-5%, pati 10-20%, lemak 0,1-0,3% dan serat 1-3%.