Genduren atau disebut juga Kenduri adalah sebuah tradisi yang sudah berjalan sekian puluh tahun, mungkin malah sudah ada ratusan tahun. Tradisi ini masih banyak berlangsung terutama di desa-desa seperti halnya didusun Tepus somorejo.
Hakekatnya sama, hanya istilahnya saja yang mungkin berbeda. Pada intinya genduren/kenduri merupakan mekanisme sosial untuk merawat dan menjaga kebersamaan sehingga cita-cita yang sejak semula dibuat diteguhkan kembali.
Kenduri juga menjadi alat kontrol sosial untuk menjaga gerak dan arah dari cita-cita yang telah diperjuangkan bersama itu. Dalam kerangka mekanisme sosial itulah, kenduri menampung dan mepresentasikan banyak kepentingan. Dari sekian banyak kepentingan itu, semua dilebur menjadi satu tujuan.
Kenduri mampu mempersatukan, bahkan semakin mempererat kesatuan itu. Bukan hanya kesatuan kepentingan, kesatuan cita-cita, namun juga kesatuan masing-masing individu yang terlibat didalamnya.
Dalam kenduri akan terlihat jelas bagaimana kebersamaan dan keutuhan tercipta: suasana penuh kerukunan, sendau gurau antar sesama, ketika hidangan kue dan minuman ala kadarnya disuguhkan (bahasa Tepusnya macit) atau ketika bersalam-salaman dengan tulus.
Kenduri merupakan sebuah tradisi berkumpul yang dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa orang, biasanya laki-laki, dengan tujuan meminta kelancaran atas segala sesuatu yang dihajatkan dari sang penyelenggara yang mengundang orang-orang sekitar untuk datang genduren. Bisa berujud selametan syukuran, bisa juga bisa berujud selametan peringatan, atau aneka selametan lainnya.
Dalam kenduri itu dipanjatkan bacaan do'a. Siapakah yang biasa memimpin do'a? Biasanya ada satu orang yang dituakan berfungsi sebagai pemimpin do’a sekaligus yang mengikrarkan hajat dari sang tuan rumah. Seorang pemimpin itu biasa juga disebut sebagai Ustadz, Ro’is, Modin, atau Kaum.
Pemimpin ini bisa diundang sendiri karena orang itu memang sudah biasa menjalankan peran dan fungsi sebagai pemimpin doa dalam kenduri. Tetapi jika tidak ada, kenduri bisa juga dipimpin oleh orang yang dianggap tua dan mampu untuk memimpin kenduri tersebut.
Didalam kenduri ada istilah "Sego Brekat"(nasi berkat), penyebutan brekat dari segi bahasa merupakan saduran bahasa arab ‘barkatun’ atau ‘barokatun’, yang artinya kebaikan yang bertambah-tambah terus. Ada pula yang mengatakan bahwa nama brekat berasal dari singkatan ‘brek terus diangkat’ maksudnya begitu ‘brek’ (bunyi) diletakan, kemudian diangkat untuk dibawa pulang masing-masing tamu undangan.
Pemberian sego brekat dilakukan dengan niat sedekah dari tuan rumah yang memiliki hajat. Sebuah kegiatan sosial yang indah.
Lihatlah urutan kebaikan di dalamnya. Orang yang memberi nasi berkat senang karena bisa bersedekah dan rumahnya dijadikan tempat dzikir dan berdoa. Orang yang diberi nasi berkat senang bisa membawakan oleh-oleh bagi istri dan anaknya, dan anaknya gembira menanti datangnya berkat. Lalu mereka makan nasi berkat dengan gembira dan kenyang.
Wahai, orang dengan taraf bahagia seperti itu, bagaimana tidak lalu mendoakan dengan ikhlas bagi si pemberi? Dan bukankah mendoakan kebaikan bagi orang lain adalah juga berarti kebaikan bagi si pendoa? Pendek kata, sedekah itu luar biasa. Bahkan untuk setingkat nasi berkat. Di sini juga akan semakin terasa bahwa sejatinya memberi itu adalah juga menerima.
Genduren atau kenduri memang sebuah tradisi yang masih dipertahankan hingga saat ini. Meski terkesan sederhana, tradisi ini memang memiliki makna yang mendalam sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tradisi ini juga positif secara sosial kemasyarakatan karena dapat memperkuat ikatan tali sillahturahmi satu sama lain. Tidak heran jika tradisi ini dikatakan sebagai tradisi yang sangat merakyat.