III. Mengembangkan hubungan damai dengan penduduk setempat/pribumi, tidak mengembangkan hubungan yang bermusuhan. Hubungan damai dibentuk dengan langkah halus, pelan-pelan secara bertahap diberlakukan dengan cara mengkombinasikan kultur setempat dimasukan kedalamnya roh Islami. Penduduk memiliki kesukaan kesenian wayang, oleh karena itu wayang dimanfaatkan oleh para Wali Songo sebagai media da’wah yang sangat efektif.
Pada mulanya wayang pada masa itu masih berwujud patung-patung. Lalu oleh Wali Sango diganti dengan bentuknya seperti yang sekarang, pipih terbuat dari kulit, lebih merupakan bayang-bayang dalam wujud dua dimensi , yang melambangkan watak seseorang. Yang jahat berwujud raksasa, sedang orang yang baik ditampilkan dalam bentuk seorang kasatria seperti Yudhistira. Kemudian lakon-lakonnya dirubah, dan ceritera-ceriteranya diarahkan kepada Tauhid. Oleh karena itu dewa-dewa mulai dari Batara guru, Batara Brahma, Wisnu, Shiwa, bahkan sampai Sang Hyang Tunggal adalah sesungguhnya masih keturunan Nabi Adam AS. Nabi Adam AS menurunkan Nabi Sis, kemudian berputra Nurcahya, menurunkan Nurasa, dari Nurasa lahir Sang Hyang Wening, kemudian Sang Hyang Tunggal, berputrakan Sang Hyang Guru, berputra lima, Batara Sambo, Batara Brahma, Batara Maha Dewa, Batara Wisnu dan Dewi Sri, dan seterusnya. Dan Allah YME, Maha Pencipta, Tuhan Yang Maha Tinggi dalam pewayangan disebutkan sebagai Hyang Kang Murbeng Dumadi, Hyang Ingkang Maha Suci, yang tan kinoyo ngopo (tidak dapat dilukiskan dengan bentuk apapun juga), tidak beranak dan tidak diperanakan, Qul Huwallahhu ahad..
Wayang Yudhistira digambarkan orang yang sangat jujur memiliki pusaka sakti Jamus Kalimasada dari makna Kalimah Syahadat, sehingga tidak bisa mati-mati, orangnya menjadi abadi maksudnya abadi amalnya. Dalam cerita Prabu Yudhistira mengembara terus menerus, akhirnya ketemu dengan Sunan Kalijaga. Prabu Yudhistira kemudian bertanya kepada Sunan Kalijaga: ”Saya ini punya Jamus Kalimasada menyebabkan saya tidak bisa mati-mati apa yang harus saya perbuat ? Kemudian Kanjeng Sunan Kalijaga memerintahkan kepada Yudhistira agar membuka Jamus Kalimasada, dan ternyata isinya berupa tulisan. Tetapi Yudhistira tidak dapat membacanya, yang kemudian Kanjeng Sunan mengajarinya sampai dapat membaca. Ternyata isinya adalah lafal Kalimah Syahadat, Setelah membaca Kalimat Syahadat Prabu Puntodewo atau Yudhistira meninggal dunia.
Bagaimana cara merubah ingatan kolektif yang dulunya serba bernuansa keanimismean dan dewa-dewa, dijadikan kearah Islam demikian juga lakon-lakonnya. Jadi ada kisah Isro Mi’raj sementara dalam wayang ada kisah Dewa Ruci. Oleh karena itu serat Dewa Ruci yang ada di pewayangan dirubah juga sehingga dimaknai kisah yang membeberkan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW, dan diberi makna lain serat Dewa Ruci yang melambangkan bagaimana Bima itu kasatria kedua dalam Pandawa itu mencari hakekat kehidupan yang disebut Tirto Perwito Sari. Air kehidupan, siapa yang mendapatkannya itu akan mengerti benar makna hidup. Oleh karena itu dalam peringatan Isra Mi’raj biasanya kalau mengadakan pagelaran wayang kulit di pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur lakonnya Dewa Ruci.
Diceritakan bahwa Bima berguru kepada Pandita Durna ingin mendapatkan Tirto Perwito Sari, disuruhnya Bima oleh gurunya, agar mendatangi puncak Gunung Rekso Muko, dan pusat Samudra. Bima bertemu dengan 2 raksasa yang menjaga puncak Rekso Muko. Bima dihalangi tidak boleh melanjutkan perjalanan mencari Tirta perwito Sari. Terjadilah perkelahian antara Bima dengan 2 raksasa penjaga gunung Wrekso Muko. Akhirnya Bima dapat membunuh 2 raksasa dengan senjatanya kuku Ponconoko. Bima melanjutkan perjalanannya menuju tengah Samudra. Di pantai Bima dihadang oleh 4 orang raksasa, dan terjadilah perkelahian, yang akhirnya 4 orang raksasa mati oleh kuku Ponconoko Bima. Perjalanan untuk mencari Tirto Perwito Sari dilanjutkan oleh Bima ke tengan samudra. Bima dihadang oleh seekor ular naga yang sangat besar dan sangat ganas, yang segera melilit badan Bima, paha Bima dijjepit dengan sangat kuatnya, lagi-lagi Bima dapat membunuhnya dengan kuku Ponconoko. Setelah itu barulah ketemu dengan Dewa Ruci yang bertubuh kecil, Bima disuruh masuk melalui lubang telinga sebelah kanan sampai mendapatkan Tirto Perwito Sari.
Dalam hidup manusia akan selalu menghadapi ujian yang pertama seperti yang digambarkan dengan Gunung Wrekso Muko yang dijaga 2 raksasa. Rekso artinya memelihara, Muko artinya penampilan . Orang hidup banyak disesatkan karena tergoda karena ingin menjaga penampilan, orang ingin rumahnya bagus, punya kendaraan yang baik, punya istri yang cantik, kalau perolehannya tidak didasarkan petunjuk Tito Perwito Sari yaitu air kehidupan, tidak berdasarkan sari’at agama, artinya kita dikalahkan oleh dua raksasa yang mendiami puncak Wrekso Muko tadi. Kemudian membunuh 4 orang raksasa yang menghambat perjalanan, artinya orang hidup akan selalu menghadapi rintangan berupa 4 nafsu , keempat unsur nafsu itu adalah ;
tanah (lambang nafsu Muthmainah), angin (lambang nafsu lawwamah), Api (lambang nafsu Amarah), dan Air (lambang nafsu Sufiyah). Nafsu-nafsu itu bersarang didalam tubuh kita, dan harus dikalahkan kalau ingin ketemu Tirto Perwito Sari. Perjalanan sampai ditengah Samudra melambangkan kita hidup menghadapi cobaan paling berat nafsu yang datang bergelombang sangat besar karena datangnya ular naga raksasa yang menjepit paha kita, berupa nafsu sahwat nafsu seksual laki-laki, orang boleh saja tahan godaan dunia, tidak mempan dikasih mobil mewah, tidak mempan dikasih rumah, tahan tidak menerima uang haram, akan tetapi kalau ular naga yang ada dibalik pahanya sudah mengamuk, “weladalah jagad dewo bathoro” , dan lagi-lagi harus dikalahkan dengan jimat kuku Ponconoko. Para Wali Songo menerangkan yang dimaksud dengan jimat kuku Ponco Noko adalah sholat lima waktu. Kemudian Wali songo menembangkan tembang Ilir-Ilir berupa lagu puji-pujian yang mengiringi perjalanan dalam mencari Tirto Perwito Sari.
Lir-Ilir Lir Ilir, Tandure wis sumilir, Tak ijo royo-royo, Tak senggo temanten anyar, Cah angon cah angon, penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno, Kanggo masuh dodot iro, dodot iro dodot iro, kumitir bedahing pinggir, Dondomono jlumatono, Kanggo sebo mengko sore, Mumpung padang Rembulane, mumpung jembar kalangane, yo surako surak iyo.
( Ilir-ilir …tanaman sudah berkembang, tampak menghijau ibarat pengantin baru…anak gembala, anak gembala…panjatlah pohon belimbing itu…meski licin panjatlah, untuk mencuci kain-kain, kain…yang sudah robek pinggirnya… jahitlah dan tamballah untuk menghadap Gusti nanti sore…mumpung bulan terang, mumpung masih ada kesempatan hidup yang luas) makna tersirat adalah ilir-ilir mari kita bangkit , tandure wong sumilir, tandur itu tanaman padi mulai subur keinginan berbuat baik keinginan ingin hidup bermakna sudah bangkit, maka penekno blimbing kuwi, ambil itu blimbing , blimbing itu belahannya lima , jalankan sholat lima waktu , lunyu-lunyu penekno kanggo sebo mengkosore , walaupun licin jalankanlah karena itu nanti jadi sangu/bekal untuk persembahan kepada Yang Maha Agung, bekal kamu di akherat kelak, mumpung masih hidup dan selagi masih diberikan kesempatan,untuk bertobat dan berbahagialah, dan selalu dirahmati Allah SWT.
IV. Pengembangannya secara gradual, tentu saja orang tidak bisa langsung, orang yang tadinya kepercayaannya dan cara ibadahnya yang sama sekali berbeda dengan yang diajarkan oleh para Wali Songo, maka pengenalan Islam harus dilakukan secara bertahap karena itu yang utama dirubah adalah adat istiadatnya kemudian dongeng-dongengnya yang ada di cerita wayang/legenda kemudian tembang-tembangnya/keseniannya, symbol-simbol dirubah kemudian secara bertahap dimasukan ajaran Islam kedalamnya.
Oleh karena itu bulan-bulan Jawa dulu yaitu bulan Saka dirubah oleh Sultan Agung yang Islamnya model para Wali , kemudian ditetapkanlah tahun Hijriyah itu sebagai tahun Jawa.
Oleh karena itu nama hari-hari Jawa mulai dari Ahad, Senen, Seloso, Rebu, Kemis, Jemuah, Setu. Nama bulan-bulanya pun kemudian menjadi bulan Islam tetapi disesuaikan mana yang mudah diingat. Oleh karena itu bulan awal Muharam itu disebut Syuro. Diambil dari kata Asyuro yang 10 karena tanggal 10 banyak kejadian sejarah pada bulan itu dan agar mudah diingat disebut bulan Syuroan atau Asyuroan. Demikian pula bulan Ramadhan, bulan Sya’ban diganti dengan bulan ruwah, asal dari kata arwah jamaknya ar-ruuh yaitu orang yang mempersiapkan ruhnya menghadapi bulan Ramadhan atau bulan Poso, oleh karena itu diberi tradisi yang di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut Nyadran, yaitu orang-orang pergi ke makam –makam , untuk mengingat mati, oleh sebab itu ruuh kita harus dibersihkan., Ramadhan sendiri diganti namanya menjadi bulan Poso, (karena pada bulan ini dikenal sangat akrab dengan kebiasaan orang Jawa melakukan puasa, tapa brata, mencegah makan dan minum, bertapa ngebleng dan seterusnya),
1. Syuro, 2. Sapar, 3. Mulud, 4. Ba'da Mulud, 5. Jumadi Awal, 6. Jumadil Akhir, 7. Rejeb, 8. Ruwah (Arwah, Saban), 9. Poso (Puwasa, Siyam, Ramelan), 10. Syawal, 11. Dulkangidah (Hapit, Sela), 12. Dulkahijah (Besar).
Kebiasaan masyarakat Jawa Tengah khususnya, setiap bulan Ruwah (Arwah, Saban), ibu-ibu selalu menyediakan jenis makanan atau kue tertentu antara lain ketan, kolak, apem. Maknanya, ketan dari kata khoto’an itu kesalahan, lalu kolak dari kata khola dalam surah al-Imran “ qod kholat min qoblikum sunanun fil ardhi fanzhuru kayfa kaana aqibatul mutaqqin” khola itu yang telah lewat/yang telah berlalu jadi ketan kolak sebagai kesalahan yang telah lalu, terus makan apem dari kata afwwun, sebab do’a yang tidak boleh ditinggalkan di bulan Ramadhan waktu Terawih adalah “Allahuma innaka afuwwun tuhibbul afwa fa’fu’anna” afuwwun artinya ampunan, karena kebiasaan pengucapan oleh orang Jawa suka diambil sekenanya maka menjadi afuwwun menjadi afem akhirnya apem, yang artinya ampunan. Jadi kesalahan yang telah lewat, kemudian diganti dengan ampunan, kemudian barulah masuk bulan Puasa.
Sampai saat ini perayaan sekaten di Jogyakarta masih tetap dimeriahkan untuk mengenang perjuangan Para Wali Songo dalam berda’wah di Kerajaan Mataram. Sekaten disimbolkan dengan gamelan Kiai Sekati dan Nyai Sekati di tabuh di depan Gapura Masjid Besar, suara yang diperdengarkan sangat sederhana, Ning…Nong….Gung, diam kemudian seperempat jam kemudian bunyi lagi, Ning…Nong…Gung, maknanya marilah masuk ke masjid rumah Allah SWT, lewat Gapura, gapura berasal dari kata Ghofuro ampunan Allah SWT, dengan hati yang hening Ning… menuju keagungan Allah SWT.
Kemudian dilanjutkan suara panggilan berikutnya dengan suara kentongan dan bunyi bedug, tong..tong..tong..tong..tong..deng..deng..deng..deng..Marilah sedulur-sedulur masuklah ke Masjid rumah Allah SWT, minta ampunan, masjidnya masih kosong, kosong, masjidnya masih kosong, isih sedeng isih sedeng/masih muat..masih muat, masih sedeng, jadi ampunan Allah SWT itu luas banget, jangan khawatir.
V. Menampilkan Islam sebagai agama yang membebaskan. Liberating force. Jadi kalau dulu membebaskan dari kasta pada jaman Wali Songo, sehingga semua sama dihadapan Allah SWT. Pada masa penjajahan belanda, Potugis, Inggris, dan penjajahan Jepang, Islam tampil sebagai agama yang menyatukan penduduk pribumi melawan pendudukan asing. Dalam konteks sekarang membebaskan dari keterbelakangan, membebaskan dari kemiskinan, membebaskan dari keterpurukan.
Demikian para Wali Songo dalam da’wahnya dengan cara yang manis telaten dan sangat sabarnya menyajikan Islam sebagai agama yang sederhana, menonjolkan persamaan dengan kepercayaan yang sudah ada, ketiga mengembangkan hubungan damai dengan pribumi, mengembangkan secara gradual, dan menampilkan Islam sebagai Agama pembebas. Oleh sebab itu kalau dalam konteks yang sekarang Wali Songo masih relavan. Wajah Islam di Indonesia yang khas, yang harus ramah tidak marah, sehingga kalau mau merobah Islam Indonesia menjadi marah-marah itu malahan tidak produktif. Wallahu a’lam.