Pages

Saturday, October 31, 2015

Jathilanku Kini

Ketika Jathilan Tak Lagi Mengerikan (Eksistensi dalam Jebakan Modernisasi)


Jathilan, nama kesenian ini mungkin hanya populer di kalangan masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta pada umumnya dan di dusun Tepus desa Somorejo Bagelen  khususnya. Tapi jika menyebut nama "jaranan" atau "kuda lumping", maka ada banyak daerah termasuk di luar Jawa yang mengenalinya sebagai bentuk kesenian sekaligus tradisi yang dimainkan oleh sekelompok pria dan wanita yang menari di atas kuda tiruan dari anyaman bambu.

Ada banyak versi nama kuda lumping di berbagai daerah. Jika nama Jathilan lekat di Tepus Somorejo Bagelen Purworejo dan sekitarnya, maka di Banyumas dan Kebumen kesenian kuda lumping ini dikenal dengan nama Ebeg. Di Boyolali kesenian ini sering disebut Jelantur, sementara di Magelang nama Jaranan banyak digunakan. Di beberapa tempat di wilayah Yogyakarta ada beberapa kesenian lain yang mirip dengan Jathilan yakni Incling di Kulon Progo dan Ogleg di Bantul.

Jathilan sering dimainkan secara semi kolosal dengan melibatkan belasan hingga puluhan penari laki-laki dan wanita yang beberapa di antaranya memainkan karakter tertentu. Yang menarik dari Jathilan adalah bentuk tariannya yang meski dianggap monoton tapi justru terasa dinamis karena setiap gerakannya sangat kuat dan berkarakter. Meski memiliki beberapa perbedaan dalam hal kostum dan variasi gerakan tari, namun hampir semua bentuk kesenian kuda lumping termasuk Jathilan memiliki kesamaan mendasar dalam beberapa hal yakni bentuk tarian yang menggambarkan keperkasaan menyerupai prajurit perang, tarian yang terdiri dari beberapa babak dimainkan bergantian oleh kelompok penari pria dan wanita serta klimaks pertunjukkan yang ditandai dengan "trance" yang dalam istilah Jawa (di Tepus) disebut "ndadi" atau "kesurupan".

Jathilan Era Kini 
Dulu di era 90an kita kerap sekali menonton kesenian jathilan yang dipentaskan di sekitar tempat tinggal yaitu di dusun Tepus Somorejo. Kala itu setiap kali pentas, pertunjukkan ini dapat berlangsung 4-5 jam. Penarinya pun hanya beberapa orang pria yang rata-rata berumur di atas 30 tahun. Mereka menari dengan gerakan yang cenderung monoton, musik iringannya hanya berasal dari seperangkat alat musik tradisional yang tak terlalu variatif. Bunyian-bunyian yang mengiringi penari kuda lumping juga cenderung itu-itu saja dan diulang-ulang. Hanya di beberapa segmen tempo musiknya menjadi lebih cepat disesuaikan dengan gerakan sang penari. Saat para penari mulai kerasukan, musik yang dimainkan menjadi lebih cepat dan keras hingga memancarkan aura mistis yang sangat kuat.

Tapi itu dulu, kini Jathilan telah mengalami beberapa aktualisasi sebagai konsekuensi dari perkembangan globalisasi yang menyentuh banyak aspek kehidupan termasuk seni tradisi lokal. Semangat industrialisasi kesenian berpengaruh banyak pada perkembangan kesenian Jathilan hingga menjadi bentuk pertunjukkan yang lebih "modern" seperti saat ini.

Pertunjukkan Jathilan kini mengadopsi banyak unsur modern baik dalam hal peralatan musik, lagu-lagu pengiring, kostum yang lebih nyentrik, penari-penari berparas cantik, durasi waktu yang lebih pendek hingga bentuk kesurupan yang tak lagi menyeramkan.

Dahulu ketika para penari pria kesurupan, mereka seketika menjadi beringas dengan berlarian ke sana ke mari. Beberapa bahkan mengejar penonton untuk "menularkan" kesurupan. Setelah itu mereka akan kelelahan hingga akhirnya jatuh terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya "bangun" dan beraksi dengan memakan aneka benda seperti pecahan kaca (beling), makan bara api (mowo dalam bahasa jawa) hingga memanjat pohon. Aksi kesurupan ini bisa berlangsung lama dan ada kesan menyeramkan.

Tapi kini prosesi kesurupan seperti itu tak lagi banyak dijumpai. Aksi makan pecahan kaca dan bara api sering digantikan hanya dengan makan kembang dan menari dalam keadaan tak sadar. Memang tak ada kewajiban untuk makan pecahan kaca atau mengejar penonton, tapi kini prosesi "ndadi" tersebut memang berlangsung lebih singkat.

Modernisasi yang Dikritik 
Aktualisasi Jathilan dengan memasukan beberapa sentuhan teknologi dan bentuk modernisasi mungkin memang diperlukan sebagai strategi agar kesenian tua ini tetap dikenal dan tidak terpinggirkan. Sisi baiknya adalah hal itu membuat Jathilan lebih "ramah" untuk ditonton termasuk bagi anak-anak. Namun sayang berbagai bentuk aktualisasi tersebut telah membawa Jathilan ke dalam bentuk yang oleh banyak orang dianggap tak lagi orisinil dan melenceng dari nilai tradisi yang sebenarnya. Jika durasi pementasan yang diringkas menjadi hanya 2-3 jam dan hadirnya sejumlah penari berparas cantik masih dapat dimaklumi, maka bentuk modernisasi yang lain terus mengundang kritik.

Hadirnya beragam alat musik modern seperti keyboard dan drum, serta sentuhan teknologi digital seperti CD player untuk mengiringi Jathilan telah menimbulkan pro dan kontra. Beberapa seniman Jathilan menganggap penggunaan keyboard dan drum sebagai hal yang wajar karena kesenian seperti Jathilan perlu untuk berkembang termasuk dalam hal musik pengiringnya. Perpaduan alat musik tradisional seperti kendhang, gong dan bendhe dengan alat musik digital dianggap mampu memenuhi selera konsumen yang menghendaki musik Jathilan lebih "ear catchy". Hal ini penting sebagai bagian dari industrialisasi dan komersialisasi Jathilan.

Namun sebagian pelaku seni Jathilan lainnya dan masyarakat penikmatnya yang setia merawat orisinalitas kesenian ini menganggap sentuhan teknologi seperti keyboard, drum atau CD player telah melenceng dari sekedar pendukung iringan musik menjadi sebuah properti yang harus dimainkan. Hal ini dianggap melunturkan nilai-nilai sakral dalam tabuhan Jathilan yang awalnya terdengar  monoton.

Keprihatinan lainnya adalah kecenderungan disorientasi dalam setiap pementasan Jathilan yang kini semakin "ngepop". Sudah bukan hal baru lagi jika lagu-lagu pengiring Jathilan kini sudah jamak menggunakan tembang-tembang campur sari. Bahkan kadang lagu-lagu dangdut dan pop juga dibawakan oleh sang sinden untuk mengiringi penari Jathilan. Bentuk modernisasi ini dianggap telah melampaui batas aktualisasi sebuah seni tradisi seperti Jathilan. Akhirnya berbagai bentuk aktualisasi pertunjukkan Jathilan tersebut membuat masyarakat gagal memahami nilai tradisi di dalamnya dan hanya menikmati pertunjukkan ini sebagai pagelaran tari biasa.

Mengembalikan "Ruh" Jathilan
Jathilan mungkin sedang memasuki fase baru sebagai bagian yang tak bisa mengelak dari sentuhan globalisasi.

Sebagai bentuk kesenian, Jathilan memang perlu untuk bersikap luwes terhadap perkembangan zaman. Namun ketika kesenian yang mengandung banyak nilai spiritual ini tiba-tiba harus larut dan tunduk pada globalisasi maka hal itu sebenarnya bukanlah hal yang membanggakan melainkan memprihantinkan. Atas nama komersialisasi untuk menjaga eksistensi, Jathilan justru mengalami beberapa pencemaran nilai. Aktualisasi yang pada awalnya diusung sebagai pengembangan seni tanpa disadari telah melahirkan bentuk kreativitas yang dianggap kebablasan.

Sebagai kesenian tradisional yang populer, Jathilan mungkin perlu melihat kembali dirinya dalam bentuk semula. Sudah semestinya ruh Jathilan dikembalikan agar kesenian ini tak berubah bentuk menjadi pertunjukkan tanpa makna tapi kembali menjadi sarana untuk merawat budaya dan kearifan lokal.Tak harus selalu tunduk pada modernisasi, Jathilan dan kesenian tradisional Indonesia lainnya juga perlu untuk melawan globalisasi. Jathilan perlu menata dirinya kembali menjadi kuda lumping yang "mengerikan" agar nilai-nilai luhur di dalamnya tetap lestari bersamaan dengan eksistensi pertunjukkannya.

Sumber : Harian Kompas

Tuesday, October 27, 2015

Penyelamatan Sumber Air

Pentingnya penyelamatan sumber mata air untuk kelestarian dan ketersediaan air sepanjang masa.


Pesatnya pembangunan  dan iklim global menyebabkan degradasinya lingkungan bagi kelangsungan hidup berbagai mahluk hidup atau memutus mata rantai  kehidupan karena habitatnya rusak, panas bumi cenderung meningkat. Demikian juga pasokan air tanah semakin berkurang mengakibatkan masyarakat kesulitan memperoleh air bersih.

Perlunya menumbuhkan kesadaran  masyarakat  dalam menata  dan memelihara kelestarian lingkungan harus di budayakan sejak dini. Pengelolaan kawasan konservasi  pada hakekatnya merupakan salah satu kegiatan  berwawasan lingkungan, sehingga berdampaknya terhadap upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dan peningkatan kualitas hidup.

Kerusakan lingkungan yang meluas telah mengakibatkan kelangsungan daya dukung sumber daya air perlu mendapat perhatian serius. Kerusakan hutan secara signifikan menyebabkan terjadinya penurunan daya dukung daerah aliran sungai. Khususnya dalam menahan dan menyimpan air serta terjadinya proses percepatan laju kerusakan daerah tangkapan air.

Apabila wilayah kita memiliki sumber mata air, tetapi apa jadinya jika kita tidak melestarikan sumber mata air tersebut? Untuk itu kita perlu menjaga dan melestarikan sumber mata air yang kita miliki agar sumber air kita tetap      mengalir sehingga kita tidak perlu mengalami krisis air lagi. Bagaimana cara kita melestarikan sumber mata air yang kita miliki?

Harus ada kesadaran serta peran masyarakat dalam rehabilitasi hutan dan lahan (penyelamatan sumber mata air). Gerakan Penghijauan dengan penanaman pepohonan di sekitar sumber mata air merupakan salah satu  cara atau langkah menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam menata dan memelihara kelestarian lingkungan dalam upaya meningkatkan daya dukung dan fungsi lahan  sehingga berfungsi optimal menjaga ketersedian air bersih untuk masyarakat dengan kearifan lokal, serta perlakuan pengamanan dan perlindungannya.

Sebagai bentuk kontribusinya untuk selalu menjaga keseimbangan alam dan kelestarian sumber mata air, masyarakat bisa ikut serta dalam penanaman bibit pohon keras produktif, seperti Durian, Alpokat, Manggis, sukun, Petai dan lainnya.
Sementara untuk kegiatan penghijauan adalah jenis tanaman yang dapat menyerap air, di antaranya Bambu, Beringin, gayam dan berbagai macam pohon lainnya.


Tuesday, October 20, 2015

Kilas Sejarah Bagelen




     Tanah bagelen merupakan suatu kawasan di selatan Jawa Tengah menurut tata negara Mataram masa Sultan Agung, ( FA Sutjipta 1963 ) yang disebut tanah bagelen terdiri dua bagian dalam satu kesatuan yaitu wilayah bagelen di sebelah barat sungai progo sampai timur sungai bogowonto disebut “Tumbak Anyar” dan yang kedua wilayah di barat sungai Bogowonto sampai Timur Sungai Donan ( Cilacap ) yang disebut “Urut Sewu” . dua wilayah Tumbak Anyar dan Urut Sewu itulah yang dinamakan Tanah Bagelen yang melegenda.
     Wilayah Bagelen sekarang sudah terpecah menjadi beberapa Kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Purworejo ( gabungan kadipaten Kutoarjo dan Brengkelan ), Kabupaten Kebumen ( gabungan kadipaten Ambal, Gombong, Karanganyar, dan Kutowinangun ), Kabupaten Cilacap, ditambah Kabupaten Wonosobo, sisa dari wilayah yang dahulu dikenal sebagai Urut Sewu atau Ledok.
Nama Bagelen menurut Profesor Purbatjaraka (1954) seorang ahli sejarah Kuno, berasal dari kata pagaluhan, wilayah yang masuk dalam kekuasaan kerajaan Galuh.
     Berdasarkan penelitian Arkheologi Yogyakarta, ( Prayitno Hadi S, 2007 ) ternyata di pusat wilayah Bagelen tepatnya di Desa Bagelen dan sekitarnya yang masuk dalam Kabupaten Purworejo, sekurang-kurangnya terdapat sekitar 70 buah situs Megalitik dan Puluhan Situs Klasik Hindhu-Budha.
     Salah satu tempat yang menarik adalah Desa Watukuro kecamatan Purwodadi, Purworejo, lokasinya di muara sungai Bogowonto. Menurut Profesor DR. N J. Khrom (1950) seorang ahli Purbakala di Desa ini dahulu terdapat tempat untuk Perabuan Jenazah-jenazah Raja-Raja Mataram Hindhu, demikian juga asal usul Raja Mataram Hindhu terbesar yaitu Diah Balitung. Sayang situs peninggalan purbakala di desa Watukuro telah hilang akibat adanya sistem tanam paksa pada abad 19.
     Peradaban Jawa kuno menurut Supratikno Rahardjo (2001) bisa dibagi dalam dua periode utama , pertama periode Jawa Tengah sekitar Abad 8 – 10 Masehi, periode berikutnya periode setelah pusat pemerintahan pindah ke jawa timur. Menurut Profesor Brandes (1889) di Pulau Jawa sebelum masuknya Pengaruh Hindhu, berdasarkan bukti dan data-data Prasasti telah memiliki paling tidak 10 macam kepandaian khusus yakni pertunjukan wayang, musik gamelan, seni syair, pengrajin logam, sistem mata uang untuk perdagangan, navigasi, irigasi, ilmu falak, dan sistem pemerintahan yang teratur.

     Bagelen memiliki nilai dan karismatik sebagai sebuah wilayah. Wilayah yang luas -terdapat 20 kecamatan jika dibandingkan dengan kondisi administratif saat ini- dan terletak di Jawa Tengah bagian selatan (tepatnya di Yogyakarta) itu memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah tanah air. Operasi militer, perlawanan terhadap Kompeni, pembangunan candi (Prambanan dan Borobudur) merupakan beberapa bukti pentingnya wilayah tersebut.

     Bukti-bukti kebesaran Bagelen tercatat sebagai berikut:

1. Di era Majapahit, Raja Hayam Wuruk pernah memerintahkan untuk menyelesaikan pembangunan candi makam dan bangunan para leluhur, menjaga serta merawatnya dengan serius (Negarakertagama);

2. Di era Demak, Sunan Kalijaga (anggota Wali Songo) mengunjungi dan menyebarkan Agama Islam di Bagelen serta mengangkat muridnya, Sunan Geseng untuk berdakwah di wilayah Bagelen;

3. Di awal Dinasti Mataram, Panembahan Senopati menggalang persahabatan dengan para kenthol (tokoh-tokoh) Bagelen untuk menopang kekuasaannya.

4. Ditemukannya bukti-bukti sejarah, seperti Lingga (52 buah), Yoni (13), stupa/Budhis (2), Megalith (22), Guci (4), Arca (38), Lumpang (24), Candi Batu atau berkasnya (8), Umpak Batu (16), Prasasti (3), Batu Bata (8), temuan lain (17), dan Umpak Masjid (20).


     Tapi pada akhirnya, Bagelen sebagai sebuah kawasan yang solid akhirnya terpecah seiring dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) yang didesain oleh Kompeni Belanda untuk memecah Mataram menjadi dua kerajaan; Kasunanan Surakarta (Solo) dengan Sunan Paku Buwono III sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Yogyakarta dengan Sultan Hamengku Buwono I sebagai rajanya.
Sebagian masuk Solo, dan sisanya masuk Yogyakarta. Secara peradaban, Bagelen sudah terbelah. Abad XIX (1825-1830), Bagelen ikut dalam Perang Jawa. 3000 prajurit Bagelen di bawah kendali Pangeran Ontowiryo menyokong perjuangan Pangeran Diponegoro yang terpusat di Tegalrejo, Magelang. Saking kuatnya perlawanan Bagelen, Kompeni Belanda sampai harus menggunakan taktik Benteng Stelsel, dengan mambangun 25 buah benteng di kawasan Bagelen.

     Usaha Belanda untuk semakin memperlemah Bagelen dilanjutkan di tahun 1901. Tanggal 1 Agustus, Bagelen dihapus secara karesidenan dan dilebur ke dalam Karesidenan Kedu. Selanjutnya Bagelen hanya dijadikan sebagai sebuah kecamatan saja. Kemudian Belanda juga membangun jalur transportasi Purworejo-Magelang untuk memudahkan pengawasan. Belanda juga menempatkan batalion militer reguler dengan dibantu serdadu negro (Ambon?). Kebijakan ini sangat nyata untuk menghilangkan jati diri Bagelen sebagai sebuah kawasan yang sangat berakar. Buku ringkas ini merupakan upaya penulis untuk melakukan rekonstruksi suatu aset nasional yang memiliki muatan lokal. Berikut penelusurannya:

LATAR BELAKANG MATARAM KUNO

     Di Jawa Tengah abad VIII – X, ada kerajaan besar, bernama Medang yang terletak di Poh pitu. Kerajaan ini luas, dikenal subur dan makmur. Pusat kekuasaan dibagi menjadi dua; Pertama, negara yang bersifat internasional dengan beragama Budha, diperintah oleh Dinasti Syailendra. Kedua, negara yang diperintah oleh sepupunya yang beragama Syiwa. Kedua kerajaan ini berada dalam satu istana, dan disebut Kerajaan Medang i Bhumi Mataram. Berdasarkan prasasti berbahasa Melayu Kuno (Desa Sojomerto, Batang) memperkuat pendapat sejarawan Purbacaraka, bahwa hanya ada satu dinasti saja di Jawa Tengah, yakni Syailendra. Raja Sanjaya yang menganut Syiwa di kemudian hari menganjurkan putranya, Rakai Panangkaran untuk memeluk Budha. Menurut catatan Boechori, epigraf dan arkeolog, Syailendra merupakan penduduk asli Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh prasasti Wanua Tengah III (Temanggung) yang memuat silsilah raja-raja Mataram lengkap dengan tahunnya.

ASAL MULA RAJA SANJAYA DAN TANAH BAGELEN

     Berdasarkan prasasti Canggal (Sleman) menjelaskan: -ada sebuah pulau bernama Yawadwipa -negeri yang kaya raya akan padi, jewawut, dan tambang emas. -raja pertamanya : Raja Sanna. -setelah dia mangkat, diganti oleh ponakannya: Raja Sri Sanjaya Menurut catatan seorang sejarawan, Raja Sanjaya mendirikan kerajaan di Bagelen, satu abad kemudian dipindah ke Wonosobo. Sanjaya adalah keturunan raka-raka yang bergelar Syailendra, yang bermakna “Raja Gunung“, “Tuan yang Datang dari Gunung“. Atau, “Tuan yang Datang dari Kahyangan“, karena gunung menurut kepercayaan merupakan tempatnya para dewata.
     Raja Sanjaya dikenal sebagai ahli kitab-kitab suci dan keprajuritan. Armada darat dan lautnya sangat kuat dan besar, sehingga dihormati oleh India, Irian, Tiongkok, hingga Afrika. Dia berhasil menaklukkan Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kerajaan Melayu, Kemis (Kamboja), Keling, Barus, dan Sriwijaya, dan Tiongkok pun diperanginya (from “Cerita Parahiyangan“).
Area Kerajaan Mataram Kuno (Bagelen) berbentuk segitiga. Ledok di bagian utara, dikelilingi Pegunungan Menoreh di sisi Barat dan Pegunungan Kendeng di utara dan basisnya di pantai selatan dengan puncaknya Gunung Perahu (Dieng), di lembah Sungai Bagawanta (Sungai Watukura, kitab sejarah Dinasti Tang Kuno 618-906). Catatan dinasti Tiongkok tersebut diperkuat juga oleh Van der Meulen yang menggunakan kitab “Cerita Parahiyangan” dan “Babad Tanah Jawi“.
     Bagelen merupakan hasil proses nama yang final. Bermula Galuh/Galih, menjadi Pegaluhan/Pegalihan, menjadi Medanggele, Pagelen, lalu jadilah Bagelen. Dalam prasasti Tuk Mas (Desa Dakawu, Grabag-Magelang) yang menyebut adanya sungai yang seperti sungai Gangga, maka Medang i bhumi Mataram bermakna “Medang yang terletak di suatu negeri yang menyerupai Ibu” (lembah Sungai Gangga). Dieng diasumsikan sebagai Himalaya, Perpaduan Sungai Elo dan Progo disamakan sebagai Sungai Gangga, dan pegunungan Menoreh disamakan sebagai Pegunungan Widiya.

SILSILAH RAJA-RAJA MATARAM KUNO


     Pada jaman Mataram Hindhu, tersebutlah seorang raja yang bijaksana yang bernama Prabu Sowelocolo. Ia memiliki enam orang putra, masing-masing bernama Sri Moho Punggung, Sendang Garbo, Sarungkolo, Tunggul Ametung, Sri Getayu, dan Sri Panuhun.
     Sri Panuhun memiliki seorang cucu, anak dari Joko Panuhun atau Joko Pramono yang bernama Roro Dilah atau Roro Wetan yang kemudian dikenal dengan sebutan Nyai Bagelen. Roro Dilah juga dapat disebut dengan Roro Wetan karena kedudukannya di daerah timur. Sri Getayu memiliki cucu dari putra Kayu Mutu bernama Awu-Awu Langit. Ia berkedudukan di Awu-Awu (Ngombol). Setelah dewasa, Roro Dilah menikah dengan Raden Awu-Awu Langit dan menetap di Hargopuro atau Hargorojo.

     Dari pernikahan tersebut, Roro Dilah atau Roro Wetan dan Pangeran Awu-Awu Langit dianugrahi tiga orang putra, Bagus Gentha, Roro Pitrang dan Roro Taker.
Kesibukan Roro Wetan dan Awu-Awu Langit adalah bertani padi, ketan, dan kedelai, beternak sapi, ayam dan juga menenun. Konon karena tanahnya cocok untuk ditanami kedelai dan hasilnya melimpah maka wilayah tersebut dikenal dengan nama Medang Gelih atau Padelen dan sekarang disebut dengan Bagelen.

     Roro Wetan atau Nyai Ageng Bagelen sosoknya tinggi besar dengan rambut terurai dan senang memakai kemben lurik. Beliau memiliki keistimewaan berupa kemampuan spiritualnya dan juga payudaranya yang sangat panjang sehingga ketika putra-putrinya ingin ngempeng, ia tinggal menyampirkan ke belakang.

     Pada suatu ketika, Nyai Ageng Bagelen sedang asik menenun. Sebagaimana biasanya, ia menyampirkan payudaranya ke belakang supaya tidak mengganggu. Tidak disangka-sangka datang anak sapi menghampirinya, Nyai Ageng Bagelen mengira itu salah satu putra-putrinya yang ingin ngempeng. Tanpa menghiraukan kedatangan anak sapi tersebut ia terus asik menenun. Terkejutlah ia ketika menoleh, ternyata yang menyusu bukanlah anaknya tetapi anak sapi.

     Kejadian tersebut membuat Nyai Ageng Bagelen merasa malu dan marah, sehingga menyebabkan pertengkaran dengan Raden Awu-Awu Langit. Dan akhirnya ia menyampaikan pesan untuk semua anak cucu beserta keturunannya, agar atau tidak boleh memelihara sapi.
Peristiwa yang memilukan atau menyedihkan juga terjadi kembali pada hari Selasa Wage. Pada waktu itu masih musim panen kedelai dan padi ketan hitam. Kedua putrinya Roro Pitrang dan Roro Taker masih senang bermain-main. Namun tidak sebagaimana biasanya, hingga sore hari kedua putri itu tidak kunjung pulang.

     Selesai menenun Nyai Ageng Bagelen berusaha mencari. Karena tidak menemukannya, ia menanyakan kepada suaminya. Namun jawaban Raden Awu-Awu Langit sepertinya kurang mengenakan. Dengan perasaan marah dan jengkel dibongkar padi ketan hitam dan kedelai di dalam lumbung sehingga isinya berhamburan terlempar jauh hingga jatuh di desa Katesan dan Wingko Tinumpuk.
Betapa terkejutnya Nyai Ageng Bagelen ketika melihat kedua putri kesayangannya terbaring lemas pada lumbung padi tersebut. Setelah didekati ternyata mereka telah meninggal.

     Semenjak peristiwa tersebut kehidupan Nyai Ageng Bagelen dengan Raden Awu-Awu Langit selalu diwarnai dengan pertengkaran. Akibatnya Raden Awu-Awu Langit memutuskan untuk pulang ke daerahnya, Awu-Awu, sedangkan Nyai Ageng Bagelen tetap tinggal di Bagelen untuk memerintah negeri.
     Suatu ketika terdengar kabar bahwa Raden Awu-Awu Langit meninggal di desa Awu-Awu. Mendengar berita tersebut Nyai Ageng Bagelen merasa sedih dan berpesan kepada Raden Bagus Gentha bahwa anak cucu keturunannya dilarang atau berpantangan untuk bepergian atau jual beli, mengadakan hajad pada hari pasaran Wage, karena pada hari itu saat jatuhnya bencana dan merupakan hari yang naas. Selain itu orang-orang asli Bagelen juga berpantangan untuk menanam kedelai, memelihara lembu, memakai pakaian kain lurik, kebaya gadung melati dan kemben bangau tulis.

     Setelah Nyai Ageng Bagelen menyampaikan pesan tersebut kepada Raden Bagus Gentha putranya, ia kemudian masuk ke kamarnya dan lemudian menghilang tanpa meninggalkan bekas atau moksa.

     Selain itu Nyai Ageng Bagelen juga mengajarkan kepada anak cucu keturunannya agar melakukan tiga hal, yaitu: bersikap jujur, berpenampilan sederhana dan lebih baik memberi dari pada meminta.
Sepeninggalan Nyai Ageng Bagelen, kedudukan dan pemerintahan Bagelen digantikan oleh Raden Bagus Gentha.